Ketika “calon berkualitas” gagal dalam sejarah Pilpres AS

Jakarta (ANTARA) – 5 November mendatang merupakan tanggal yang sangat ditunggu-tunggu bagi banyak warga negara Amerika Serikat yang ingin sekali mencoblos dalam pemilihan presiden AS untuk periode lima tahun berikutnya.

Seperti diketahui, 5 November merupakan hari Selasa pertama di bulan November, yang sesuai regulasi yang berlaku sejak 1845, merupakan jadwal untuk dilakukannya pemilihan presiden di negara adidaya itu.

Sebelum aturan yang disahkan pada 1845, setiap negara bagian diperbolehkan menyelenggarakan pemilu kapan pun dalam jangka waktu 34 hari sebelum hari Rabu pertama di bulan Desember.

Namun, sistem seperti itu dinilai memiliki beberapa kelemahan krusial sehingga ditetapkanlah jangka waktu satu hari khusus untuk pencoblosan.

Sebenarnya, pemilihan presiden itu sendiri telah berlangsung sejak 1788, di mana George Washington ditetapkan sebagai kepala negara pertama AS. Sejak itu, pilpres AS selalu stabil dilakukan setiap empat tahun di Negeri Paman Sam, hingga tahun ini.

Kestabilan AS dalam melakukan pemilu juga memiliki banyak manfaat, antara lain membuat partai politik juga dapat dengan leluasa menentukan jadwal pemilihan pendahuluan untuk masing-masing parpol guna menghasilkan capres yang mumpuni.

Namun, dalam panjangnya sejarah pilpres AS, dapat ditemukan pula adanya “calon berkualitas” yang sebenarnya memiliki kans untuk menjadi presiden yang baik, tetapi tidak terpilih karena kalah dalam pencoblosan.

Alasan mengapa berbagai calon yang berkualitas itu kalah tidaklah bersifat “hitam-putih”, tetapi calon tersebut kemungkinan dikalahkan oleh calon lain yang ternyata kualitasnya jauh lebih unggul.

Dalam artikel refleksi sejarah Pilpres AS kali ini, dan untuk alasan efisiensi panjang tulisan, hanya akan dipaparkan sebanyak dua capres berkualitas yang gagal dalam Pilpres AS abad ke-20, tepatnya dalam periode antara Perang Dunia Kedua hingga Perang Vietnam.

Calon berkualitas pertama yang gagal dalam Pilpres AS dalam artikel ini adalah Wendell Willkie (1892-1944), capres Partai Republik yang kalah melawan Presiden petahana Franklin D Roosevelt (FDR) dalam ajang Pilpres AS 1940.

Seperti diamini banyak sejarawan, FDR merupakan salah satu presiden terhebat dalam sejarah perpolitikan AS, di mana salah satu prestasinya adalah membawa AS pulih dari dampak Depresi Besar 1929 yang mengguncang ekonomi global.

Salah satu langkah jitu FDR adalah dengan melalui program New Deal, yaitu serangkaian kebijakan reformasi finansial dan proyek pembangunan infrastruktur umum serta pembentukan jaminan sosial bagi kalangan yang dinilai renta.

Selain itu, dengan membawa AS meraih kejayaan dalam kancah Perang Dunia Kedua, FDR merupakan salah satu sosok yang dinilai berhasil membawa rakyat dunia untuk kembali percaya kepada demokrasi dibanding fasisme.

Namun, FDR dalam ajang Pilpres AS 1940 bukanlah sosok yang ingin membawa AS untuk memasuki Perang Dunia Kedua untuk melawan kelompok fasis yang dipimpin Hitler dengan gerombolan Nazi di Jerman.

Bahkan, FDR dalam kampanye awalnya di Pilpres AS 1940 menjanjikan kepada pemilihnya bahwa dia tidak akan membuat AS terlibat dalam perang apa pun dan di mana pun bila dia terpilih.

Visi ke depan

Wendell Willkie, adalah capres yang paling terdepan menyuarakan keprihatinannya terhadap kebrutalan pasukan Nazi Jerman di Eropa saat itu.

Dia lantang menyuarakan agar AS dapat membantu Inggris, sebagai satu-satunya negara besar yang masih terbebas dari cengkraman invasi Nazi Jerman.

Visi jauh ke depan yang dimiliki Willkie ternyata tidak dapat mampu membuatnya menang Pilpres, tetapi kalah dengan raihan 44,8 persen dari suara pemilih.

Faktor kekalahan Willkie adalah karena popularitas FDR dan efektivitas program petahananya, serta adanya stigma bahwa Willkie didukung pebisnis besar, yang dianggap sebagai unsur Utama biang keladi terjadinya krisis perekonomian Depresi Besar.

Kekalahan dari FDR tidak membuat Willkie membabi buta menyerang FDR, bahkan Willkie membantu meloloskan RUU Land-Lease buatan FDR yang bertujuan menolong pertahanan Inggris melawan Jerman.

Willkie juga menerima penugasan dari mantan lawannya di Pilpres sebagai duta tidak formal AS untuk Inggris. Di Inggris, Willkie melihat dampak kehancuran yang dilakukan Nazi Jerman terhadap negara monarki itu.

Setelah tentara kekaisaran Jepang membumihanguskan Pearl Harbor, Willkie menawarkan dukungan penuh kepada FDR. Willkie menjadi duta pada masa perang dengan mengunjungi berbagai wilayah termasuk Timur Tengah, Rusia, dan China.

Seusai kunjungannya, Willkie melaporkan hal itu kepada rakyat AS dalam radio yang didengar hingga sekitar 36 juta orang. Kemudian, hasil kunjungannya itu diterbitkannya dalam buku bertajuk “One World”, yang mendorong adanya organisasi global supernasional pascaperang (saat ini, hal itu terwujud dalam PBB).

Tidak hanya berpikiran jauh ke depan, Willkie juga salah satu sosok yang mengkritik FDR yang menjadi presiden selama lebih dari dua periode. Seperti diketahui, Kongres AS pada 1947 menyetujui Amandemen ke-22 Konstitusi AS yang membatasi masa kepresidenan di AS hanya maksimal dua periode.

Sedihnya, Willkie tidak bisa melihat secara langsung hal tersebut karena pada 1944, dia meninggal dunia setelah beberapa kali mengalami serangan jantung.

Wartawan dan penulis terkemuka Charles Peters menyatakan bahwa “pengaruh Willkie terhadap AS dan dunia lebih besar dibandingkan pengaruh kebanyakan orang yang pernah menjabat sebagai presiden. Pada momen penting dalam sejarah, Willkie membela hal-hal yang benar di waktu yang tepat.”

Tokoh “calon berkualitas” selanjutnya yang akan dibahas adalah George McGovern (1922-2012), capres dari Partai Demokrat yang kalah dari Presiden petahana Richard Nixon pada ajang Pilpres AS 1972. McGovern sendiri saat menjadi capres Demokrat adalah seorang Senator yang mewakili Negara Bagian South Dakota.

Berbeda dengan Willkie yang memperingatkan publik AS untuk pentingnya menjadi senjata bagi demokrasi melawan kekejaman pihak lawan di Perang Dunia Kedua, McGovern adalah seorang juru damai yang menginginkan adanya perdamaian dalam Perang Vietnam, di mana AS menjadi salah satu pihak utama dalam konflik.

McGovern merupakan seorang mantan letnan Angkatan Udara yang ikut dalam kontingen pasukan AS di dalam ajang pertempuran di Eropa pada Perang Dunia Kedua. Namun, keterlibatannya dalam salah satu konflik terbesar dalam sejarah umat manusia itu tidak membuatnya haus akan lebih banyak peperangan.

Perhatiannya yang besar terhadap nasib petani, daerah pedesaan Amerika Serikat serta terhadap pengentasan kelaparan juga membuatnya diangkat oleh Presiden AS John Kennedy sebagai Direktur pertama dari Program Food for Peace (Pangan untuk Perdamaian) pada 1961.

Food for Peace adalah program menyediakan bantuan pangan bagi mereka yang membutuhkan guna mengentaskan kelaparan di dunia, dan hingga kini diperkirakan bahwa program tersebut telah menyentuh hingga sekitar 3 miliar orang di banyak negara.

 

Ilustrasi Harris dan Trump/ANTARA/Anadolu/PY

Menentang perang

Setelah diangkat sebagai senator pada 1963, McGovern mulai menunjukkan karakternya sebagai antiperang, antara lain dia ingin mengurangi anggaran pertahanan hingga mengkritik kebijakan agresif yang dilakukan AS terhadap Kuba.

Dia juga melawan berbagai banyak program menambah persenjataan militer, seperti sistem rudal dan antirudal, serta menentang bantuan militer ke negara asing.

Menurut McGovern, anggaran yang ada dalam pertahanan lebih bermanfaat ke hal lain seperti mengurangi fenomena kelaparan yang masih melanda dunia.

McGovern juga dikenal sebagai senator pertama yang pada 1963 secara terang-terangan kepada publik menentang keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.

Retorika antiperangnya juga berlanjut terutama dan pada 1969, McGovern mendesak gencatan senjata dan penarikan pasukan AS. Namun, RUU terkait hal itu yang dicoba diajukannya ke Kongres AS selalu mengalami kegagalan.

McGovern, melalui dukungan akar rumput seperti kalangan mahasiswa antiperang yang berkampanye dari rumah ke rumah, akhirnya berhasil meraih tiket sebagai capres Partai Demokrat pada 1972.

Seperti diketahui, Nixon sebagai petahana masih populer di masyarakat antara lain karena kesuksesannya menjalin hubungan dengan China serta melakukan perjanjian pembatasan persenjataan strategis dengan Uni Sovyet.

Belum lagi dengan banyak Demokrat yang tidak suka dengan sikap antiperang McGovern, sehingga ada gerakan “Demokrat untuk Nixon”. Tidak heran pula bila hasil Pilpres 1972 adalah kemenangan telak bagi Nixon, yang berhasil meraih hingga 61 persen suara rakyat.

Namun, tentu saja saat ini telah diketahui bahwa sejak 1973, terungkap keterlibatan Nixon dalam skandal Watergate yang merupakan upaya menutup-nutupi tindakan pembobolan kantor Komite Nasional Partai Demokrat yang diperintahkan oleh pejabat pemerintahan saat itu.

Akibat dari skandal tersebut, dan menghadapi ancaman pemakzulan, Nixon pada 9 Agustus 1974 mengundurkan diri sebagai presiden AS.

McGovern sendiri masih aktif, di antaranya melalui Laporan McGovern bertajuk “Sasaran Pola Makan untuk Amerika Serikat” melalui Kongres AS pada 1977 yang meluncurkan serangkaian pedoman baru nutrisi bagi warga Amerika untuk mengatasi kondisi kesehatan yang mematikan.

Laporan ini menyarankan agar warga AS mengonsumsi lebih sedikit lemak, lebih sedikit kolesterol, lebih sedikit gula olahan dan olahan, serta lebih banyak karbohidrat dan serat kompleks.

Tiga tahun setelah laporan yang masih relevan hingga saat ini, McGovern dikalahkan dalam pemilihan senat. Namun hampir dua dekade setelahnya, dia masih dipercaya oleh Presiden Bill Clinton pada 1998 untuk diangkat sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Badan Pangan dan Pertanian PBB.

Sedangkan pada 2000, McGovern dianugerahi Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi untuk warga sipil AS, karena jasa McGovern dalam mengentaskan kelaparan global. 12 tahun kemudian, McGovern meninggal dunia dikelilingi anggota keluarganya.

Presiden Barack Obama sendiri memberikan penghargaan dengan menilai McGovern sebagai “pahlawan perdamaian” serta sebagai seorang “negarawan dengan nurani dan tekad yang besar”.

Kisah Willkie dan McGovern membuktikan bahwa tidak perlu menang pilpres untuk menjadi seorang negarawan sejati, karena sebuah berlian tetaplah berkilau, meski banyak pihak yang membencinya atau ingin menutup-nutupi kilaunya dengan lumpur hinaan.

Baca juga: Mark Zuckerberg tidak berencana untuk dukung Biden atau Trump

Editor: Bayu Prasetyo
Copyright © ANTARA 2024

Source link