Ormas Agama Kelola Tambang Batu Bara, Untung atau Buntung?

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyayangkan keputusan ormas keagamaan PBNU dan Muhammadiyah yang menerima tawaran pemerintah untuk mengelola pertambangan batu bara.

Menurutnya, proses eksploitasi dan eksplorasi pertambangan batu bara sudah bisa dipastikan banyak menimbulkan mudharat dibandingkan manfaat, seperti merusak ekologi dan lingkungan serta menimbulkan masalah sosial.

Apalagi, katanya, dalam kurun waktu yang tidak lama lagi pertambangan batu bara akan memasuki masa akhir, atau biasa disebut “sunset”. Sudah banyak negara, terutama yang tergolong maju, sudah mulai meninggalkan batu bara karena menganggapnya sumber energi kotor. Australia, contohnya, yang sudah sejak beberapa tahun lalu menutup tambang batu baranya.

“Beberapa pengusahanya pindah ke Indonesia karena (di sini) masih dimungkinkan. Tetapi di negara-negara maju sudah menghentikan dan menutup tambang batu baranya. Artinya mereka memperkirakan pada saatnya nanti tidak akan ada lagi negara yang menggunakan batu bara untuk pembangkit listriknya. Kalau kemudian dijual di dalam negeri, ya ke PLN karena PLN masih menggunakan batu bara sekitar 57 persen, itu pun berlaku kebijakan DMO (domestic market obligation) yang harganya dipatok USD70 , ini juga harganya rendah. Maka ini disebut sunset industry,” ungkap Fahmy saat berbincang dengan VOA.

Untuk kondisi di tanah air, kata Fahmy, mengingat cadangan batu bara masih cukup banyak, untuk menghindari “masa sunset” banyak penambang yang mulai mengolah batu bara untuk diolah menjadi energi bersih, seperti mengubah batubara menjadi gas yang kemungkinan bisa digunakan untuk gas elpiji tiga kilogram. Namun, sekali lagi ia mengingatkan bahwa konsumen terbesar batubara yakni PLN pun sudah mulai mengembangkan energi terbarukan dan mulai meninggalkan batubara meskisecara bertahap.

“Jadi kalau kemudian ormas (mengelola izin tambang batu bara) ini saya kira hasilnya kecil, prospeknya tidak bagus. Dan lagi kalau melihat Perpres-nya yang mengatakan bahwa tambang yang diberikan adalah tambang bekas. Tapi logika yang bisa kita kembangkan kalau itu bekas dan sudah dieksplorasi oleh Adaro 10-20 tahun misalnya, mestinya tinggal sisa-sisa,” jelas Fahmy.

Selain itu, kata Fahmy, izin yang diberikan pemerintah kepada ormas keagamaan untuk mengelola izin tambang hanya lima tahun. Menurutnya, izin tersebut sangat pendek, mengingat ormas-ormas keagamaan itu bisa tidak bisa langsung menambang ketika memperoleh izin konsesi karena harus mengurus perizinan yang cukup panjang dan berjenjang. Ia memperkirakan, ormas-ormas itu baru bisa melakukan kegiatan penambangan pada tahun ketiga, sehingga bisa dipastikan hasil atau keuntungan yang diperoleh sangat kecil.

Pengamat ekonomi energi UGM, Dr Fahmy Radhi. (Foto: dok pribadi)

Pengamat ekonomi energi UGM, Dr Fahmy Radhi. (Foto: dok pribadi)

“Maka dalam cost and benefit analysis, kalau cost-nya terlalu besar dibandingkan benefit-nya maka itu tidak layak. Mestinya NU dan Muhammadiyah menolak, saya kemarin agak terkejut juga kalau Muhammadiyah akhirnya menerima tawaran tambang yang mudharat-nya lebih besar daripada manfaatnya,” katanya.

Fahmy juga mengkhawatirkan dua ormas keagamaan tersebut akan terseret pada dunia hitam pertambangan yang selama ini kerap terjadi, seperti penambangan ilegal dan mafia tambang.

“Jangan-jangan mereka akan terseret melakukan kejahatan pertambangan tadi. Misalnya tidak melakukan reklamasi atau dalam perluasannya mengambil tanah masyarakat adat, itu yang terjadi seperti itu. Kalau Muhammadiyah mengatakan dia akan mengelola dengan ramah lingkungan, ramah masyarakat, ini suatu hal yang mustahil, karena dalam proses penambangan itu sudah sangat pasti akan merusak ekologi dan lingkungan,” tegasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. (Foto: VOA)

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. (Foto: VOA)

Sementara itu, di lain kesempatan, ekonom CELIOS Bhima Yudhistira juga mempertanyakan keputusan dua ormas keagamaan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batu bara. Apalagi, katanya, dua ormas ini sama sekali tidak memiliki keahlian apapun di bidang pertambangan.

“Buat apa? Amal usahanya kan pendidikan bagus, kesehatannya bagus. Justru studi kita menemukan bahwa daerah yang memiliki basis tambang atau desa yang memiliki basis tambang itu sudah pasti jelek koefisien soal fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, memicu konflik masyarakat horizontal maupun vertikal, itu temuannya sudah seperti itu. Jadi artinya, sudah tidak ada pembenaran lagi sebenarnya Muhammadiyah untuk ikut campur atau turut andil di dalam melanjutkan sektor pertambangan,” ungkap Bhima.

Menurutnya, ketimbang ormas keagamaan memaksakan diri mengelola sesuatu yang bukan keahliannya, alangkah lebih baik bila mereka terlibat dalam pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Menurutnya, hal ini bisa dilakukan melalui pesantren, sekolah ataupun rumah sakit yang dimiliki oleh ormas keagamaan tersebut.

“Itu yang bisa dikawinkan, dengan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan ini profitnya atau kalau bicara soal keekonomian ini profitnya besar sekali. Itu menunjukkan dampak surplus keuntungan dunia usahanya besar sekali kalau mau masuk ke energi terbarukan basis komunitas seperti solar panel, angin, mikrohidro yang di desa-desa masih sangat dibutuhkan,” jelasnya.

Menurutnya, ketika ormas masuk ke dalam pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, keuntungan yang dihasilkan akan jauh lebih besar dibandingkan mengelola pertambangan. Bhima juga khawatir apabila ormas keagamaan mengelola pertambangan hanya akan menerima komisi atau fee semata. Bahkan, menurutnya, risiko untuk menjadi broker izin pertambangan juga cukup besar. sementara ada dampak lingkungan dan masalah sosial yang harus ditanggung oleh ormas keagamaan ini nantinya.

“Dari studi yang kita lakukan, itu menemukan bahwa kalau ada dorongan untuk pemanfaatan energi terbarukan berbasis komoditas, itu keuntungan yang diterima oleh pelaku usaha itu sampai Rp9.750 triliun dan 96 juta orang bisa terserap tenaga kerja di sektor energi terbarukan berbasis komunitas. Jadi pada intinya ini bisnis yang cuan-nya besar, dibandingkan ngurusin tambang batu bara, ada dampak lingkungan dan kesehatan. Apalagi ini bekas tambang, belum tahu cadangannya berapa. Kalau ada konflik, seperti kerugian kesehatan dan lingkungan ya harus ditanggung (oleh ormas keagamaan),” katanya.

“Jadi, kalau dikalkulasi sebenarnya lebih rugi menjalankan bisnis tambang daripada main ke energi terbarukan berbasis komunitas. Dan itu bisa disilangkan dengan rumah sakit, fasilitas pendidikan, pesantren yang dimiliki oleh Ormas keagamaan, itu bisa sekali menjadi salah satu alternatif untuk amal usaha terutama kalau bicara soal Muhammadiyah,” pungkasnya. [gi/ab]

Source link

Post Comment