Mengapa Kebijakan Larangan Penjualan Rokok Eceran Tidak Tepat Tujuannya?
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPNVJ
Larangan penjualan rokok per batang di Indonesia, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Kebijakan ini, meskipun bertujuan mulia untuk mengurangi jumlah perokok dan melindungi anak-anak serta perempuan hamil dari bahaya rokok, tampaknya memiliki beberapa kelemahan yang signifikan.
Tulisan ini menguraikan mengapa larangan ini tidak tepat tujuannya dan mengusulkan alternatif yang lebih efektif.
Dampak Ekonomi pada Pedagang Kecil
Larangan penjualan rokok per batang berdampak langsung pada pedagang kecil, seperti pedagang asongan dan kaki lima, yang selama ini bergantung pada penjualan rokok eceran untuk menghidupi keluarga mereka.
Banyak dari mereka yang mengandalkan penjualan rokok eceran sebagai salah satu sumber utama pendapatan. Ketika larangan ini diberlakukan, omset mereka akan turun drastis, mengakibatkan pengangguran dan menambah masalah ekonomi bagi pedagang kecil.
Dalam situasi ekonomi yang sudah sulit akibat pandemi COVID-19, kebijakan ini hanya akan memperburuk kondisi mereka.
Pedagang kecil tidak memiliki banyak pilihan selain menjual produk-produk yang bisa dengan cepat memberikan keuntungan.
Rokok eceran adalah salah satu produk tersebut. Larangan ini akan mengakibatkan banyak warung kelontong kehilangan mata pencaharian, yang pada akhirnya menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat menciptakan masalah sosial yang lebih besar, seperti peningkatan tingkat kemiskinan dan pengangguran dan akan marak penjualan black market di level eceran.
Tekanan pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Kebijakan ini juga menambah tekanan pada masyarakat berpenghasilan rendah, yang biasanya membeli rokok secara eceran karena keterbatasan ekonomi. Terdapat sekitar 40 juta masyarakat miskin di Indonesia yang akan semakin tertekan oleh larangan ini.
Larangan ini dianggap diskriminatif karena menyulitkan kelompok tersebut untuk membeli rokok, yang selama ini mereka beli secara eceran.
Dalam kondisi ekonomi yang sulit, masyarakat berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki pilihan selain membeli barang-barang dalam jumlah kecil yang sesuai dengan anggaran harian mereka.
Rokok eceran, meskipun berbahaya bagi kesehatan, adalah salah satu barang yang mereka beli dalam jumlah kecil.
Dengan larangan ini, mereka dipaksa untuk membeli rokok dalam bungkus besar, yang tidak sesuai dengan anggaran harian mereka, atau berhenti merokok secara paksa, yang dalam banyak kasus tidak realistis tanpa dukungan dan edukasi yang memadai.
Ketidakadilan dan Diskriminasi
Larangan ini dianggap tidak adil dan diskriminatif terhadap kelompok berpenghasilan rendah. Kebijakan ini tampaknya mengabaikan realitas bahwa banyak dari mereka yang tidak mampu membeli rokok dalam bungkus besar karena keterbatasan ekonomi.
Sementara itu, produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik (vape) tetap dijual bebas, yang menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penerapan kebijakan ini.
Pengawasan yang lebih ketat terhadap penjualan rokok kepada anak-anak dan remaja dapat dilakukan tanpa harus melarang penjualan rokok eceran.
Misalnya, pemerintah dapat memberlakukan aturan yang lebih ketat bagi penjual untuk memeriksa identitas pembeli dan memastikan bahwa mereka berusia di atas 21 tahun.
Selain itu, pemerintah juga bisa meningkatkan denda dan hukuman bagi toko-toko yang kedapatan menjual rokok kepada anak di bawah umur.
Alternatif yang Lebih Efektif
Ada banyak alternatif yang lebih efektif untuk mencegah anak di bawah umur membeli rokok tanpa harus melarang penjualan rokok eceran.
Salah satunya adalah dengan meningkatkan pengawasan di toko-toko untuk memastikan bahwa tidak ada penjualan rokok kepada anak di bawah umur.
Menaikkan harga rokok juga bisa menjadi solusi yang efektif, karena harga yang tinggi akan membuat rokok tidak terjangkau oleh anak-anak.
Edukasi di sekolah juga merupakan langkah penting. Pemerintah bisa mengintegrasikan pendidikan tentang bahaya merokok ke dalam kurikulum sekolah, sehingga anak-anak mendapatkan informasi yang cukup tentang dampak negatif rokok sejak dini.
Selain itu, kampanye publik yang luas tentang bahaya merokok, terutama yang ditargetkan pada anak-anak dan remaja, juga bisa membantu menurunkan prevalensi merokok di kalangan muda.
Pelatihan bagi penjual tentang pentingnya tidak menjual rokok kepada anak di bawah umur juga bisa menjadi langkah efektif. Pemerintah dapat menyediakan program pelatihan untuk penjual rokok, agar mereka lebih sadar akan bahaya menjual rokok kepada anak di bawah umur dan mematuhi aturan yang ada.
Peningkatan Peran Orang Tua dan Guru
Orang tua dan guru memainkan peran penting dalam mengawasi dan memberikan pengarahan kepada anak-anak tentang bahaya merokok.
Dengan memberikan edukasi yang cukup kepada orang tua dan guru, mereka bisa membantu mencegah anak-anak dari kebiasaan merokok. Pemerintah bisa mendukung program-program yang melibatkan orang tua dan guru dalam upaya pencegahan merokok di kalangan anak-anak.
Pembatasan Iklan Rokok
Membatasi iklan rokok di media yang dapat dijangkau oleh anak-anak juga merupakan langkah penting. Iklan rokok yang menarik dan mudah diakses oleh anak-anak bisa mempengaruhi mereka untuk mencoba merokok.
Dengan membatasi iklan rokok, terutama di media sosial dan internet, pemerintah bisa membantu menurunkan minat anak-anak terhadap rokok.
Pengenaan Cukai dan Peningkatan Pengunjung di Minimarket
Penjualan rokok dalam kemasan besar (bungkus) mempermudah pengawasan dan pengenaan cukai, serta meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok.
Dengan mengarahkan penjualan rokok ke toko-toko formal seperti minimarket, pemerintah tidak hanya mempermudah pengawasan tetapi juga meningkatkan jumlah pengunjung di minimarket. Ini bisa membantu meningkatkan penjualan produk lain di minimarket dan mendukung ekonomi formal.
Rencana Judicial Review
Sebagai respon terhadap ketidakadilan yang dirasakan, saya menyakini akan banyak pihak berencana untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MK).
Mereka berpendapat bahwa larangan ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan bertentangan dengan Pancasila serta UUD 1945. Judicial review ini diharapkan dapat mengevaluasi kembali kebijakan tersebut dan mencari solusi yang lebih adil dan efektif.
Jika MK menerima permohonan ini, ada kemungkinan kebijakan ini akan direvisi atau dibatalkan, sehingga bisa mengurangi ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan pedagang kecil.
Larangan penjualan rokok per batang memang memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk mengurangi jumlah perokok dan melindungi anak-anak serta perempuan hamil dari bahaya rokok.
Namun, kebijakan ini tampaknya tidak tepat tujuannya dan memiliki banyak kelemahan. Dampaknya pada pedagang kecil, tekanan pada masyarakat berpenghasilan rendah, serta ketidakadilan dan diskriminasi yang muncul, semuanya menunjukkan bahwa ada banyak alternatif yang lebih efektif untuk mencapai tujuan yang sama.
Pengawasan yang lebih ketat, edukasi, kampanye publik, pelatihan bagi penjual, dan pembatasan iklan rokok adalah beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Pemerintah perlu melihat kebijakan ini dengan lebih cermat dan mempertimbangkan dampak serta efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Post Comment