Hijaukan Bumiku, Birukan Langitku
Gaya hidup berkelanjutan mulai diajarkan di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA di Indonesia. Namun sebelum adanya kurikulum untuk para siswa, sebenarnya bagi sebagaian masyarakat Indonesia telah mempelajari cara hidup yang ramah lingkungan, misalnya dengan memanfaatkan sampah rumah tangga atau yang dikenal dengan eco-enzym.
Tini Soeharsono (64) mengenal cairan eko enzim dengan berbagai manfaat itu, dari seorang asal Thailand, Doktor Roshukon. Dari sanalah pengetahuan tentang cairan hasil pengawetan dari limbah kulit buah-buahan dan sayuran, disebarkan ke komunitasnya di perumahan Bintaro, Jakarta Selatan.
“Jadi, begitu mendapatkan ilmu itu langsung praktek, lalu ketagihan karena tahu manfaatnya, otomatis jadi berbagi dengan orang lain, mengajak mereka untuk mengerti tentang pendidikan lingkungan,” jelasnya kepada VOA.
Pengajaran mengenai lingkungan ini berkembang cepat di perumahannya yang terdiri dari kluster-kluster. Satu kluster yang diketuainya sejak Maret 2021 yaitu Kluster Kasuari, mencakup 350 Kepala Keluarga (KK).
“Tiap tahun pengembang Bintaro mengadakan lomba lingkungan, kini sudah banyak kluster yang peduli akan lingkungan. Jadi dalam dua tahun ini pesertanya makin banyak dan pemenangnya pada umumnya adalah kluster-kluster yang sudah membuat eko-enzim,” tambahnya.
Sebenarnya, apa yang disebut eko-enzim sehingga menjadi cairan serba guna? Doktor Ir. Jarot Wijanarko, MPd. seorang pegiat dan pendiri Eko Enzim Nasional menjelaskan, kata eco dari ekologi atau lingkungan dan enzim adalah “Hasil pengawetan (fermentasi) dari kulit buah-buahan, dicampur dengan gula dan air, diawetkan selama tiga bulan. Itu menjadi cairan yang mengandung vitokimia, probiotik, enzim dan asam organik. Nah, empat unsur utama inilah yang membuat eko enzim memiliki banyak khasiat seperti disinfektan, pembersih dan pengobatan luar untuk luka,” jelasnya.
Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1987 itu juga membagi-bagikan eko-enzim di kluster-kluster komunitasnya dengan gratis.
Kepada VOA ia menambahkan, “Jadi di Indonesia di semua kabupaten ada pegiat ekoenzim. Tujuannya secara nasional orang mengolah sampahnya masing-masing terutama sampah organik ya… dan cairan eko enzim itu dibagi-bagikan.”
Seorang anggota lingkungannya, Muhammad Ramadhona merasa memperoleh manfaat mengikuti kursus komunitas tentang lingkungan ini.
“Sebagai masyarakat modern, sangat disarankan dapat mengoleh limbah sayuran dan buah-buahan sebagaimana kita tahu, hampir di setiap TPA, sampah menjadi masalah. Mengolah limbah buah dan sayur dapat mengurangi emisi karbon gas metana yang 80 kali lebih berbahaya dibanding CO2,” ujar Ramadhona.
Upaya Tini Soeharsono dan Doktor Ir. Jarot itu menarik perhatian pihak sekolah-sekolah, yang mengajarkan para siswanya mengenai lingkungan dan gaya hidup berkelanjutan. Salah satu sekolah itu adalah SMA Plus Pembangunan Jaya, Jakarta.
Menurut kepala sekolah itu, Endang Wahyuningsih, sebelum disarankan pemerintah melalui kurikulum Merdeka, sekolah yang dipimpinnya telah memberikan mata pelajaran yang bermanfaat bagi lingkungan hidup.
“Kami merasa bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mengajak anak-anak peduli pada lingkungan sekitarnya. Jadi kami mengintegrasikan materi lingkungan itu di mata pelajaran.”
Dengan motto “Hijaukan Bumi dan Birukan Langit” (HBBL), Tini Soeharsono tidak hanya mengajarkan mengenai eko enzim kepada para siswa, namun juga kepada guru-guru sekolah yang untuk selanjutnya diturunkan kepada para siswa mereka.
Sekolah seperti SMA Plus Pembangunan Jaya yang memiliki pusat sains, kata Endang, juga mengajarkan apa yang disebut muatan lokal dengan lokakarya ilmu pengetahuan dan lingkungan.
“Jadi kami siapkan modul untuk para siswa, misalkan bagaimana cara bercocok tanam di lahan yang terbatas dengan sistem hidroponik. Nah kemudian ada juga materi tentang eko enzim, akhirnya bertemulah dengan bu Tini dari HBBL,” tambah Endang.
Menurut Endang, para siswa senang dengan praktek lingkungan semacam itu, terutama ketika menunggu hasil panen cairan eko enzim setelah tiga bulan diawetkan. Cairan serba guna yang bermanfaat itu digunakan untuk membersihkan di sekolahnya.
Sementara Tini Soeharsono di lingkungannya yang dikenal dengan komunitas relawan bumi Bintaro, mengembangkan eko enzim yang tidak hanya sebatas untuk cairan pembersih rumah tangga, namun juga menjadi produk olahan seperti sabun dan krim kulit. Produk-produk itu disebut produk turunan dari eko enzim, yang boleh dijual. [ps/lt]