Pemimpin Dan Wahyu Cakraningrat – Nusantara news

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Pilkada serentak di sejumlah wilayah Indonesia telah usai digelar. Melalui pilkada, kita berharap lahir sosok pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat, menghadapi berbagai tantangan yang terjadi sebagai dampak perubahan di berbagai sektor kehidupan.

Proses pemilihan kepala daerah yang transparan, jujur dan adil merupakan bagian dari pendidikan politik bagi setiap anak bangsa dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

pemilihan kepala daerah serentak melahirkan pemimpin yang mampu menjawab berbagai tantangan dan mewujudkan masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanatkan konstitusi kita.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, siapapun sosok yang terpilih, sudah ada tanda-tandanya. Dalam tradisi Jawa terdapat keyakinan bahwa pemimpin adalah raja, yang dalam dirinya menampung seluruh cita-cita luhur seluruh warga, dan menjadi perpanjangan tangan dari Tuhan Yang Maha Kuasa [ khalifatullah fil ardh].

Jadi tidak main-main menjadi seorang pemimpin, jangan melenceng dan mengkhianati amanah.

Sosok pemimpin, adalah sosok yang menerima ‘wahyu’ dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Pemimpin yang pongah, tidak mampu mendengar jerit pilu rakyatnya, tidak amanah, sewaktu-waktu akan dicabut ‘wahyu’ nya dengan cara yang menyakitkan.

Bicara sosok pemimpin, kita bisa merenungi sebuah kisah pewayangan dalam lakon Wahyu Cakraningra.

Lakon Wahyu Cakraningrat adalah lakon wayang yang menceritakan tentang wahyu kepemimpinan yang hanya bisa diterima oleh sosok satria yang rendah hati, tidak ambisius, dan dikawal oleh Punakawan. Lakon ini mengandung nilai-nilai filosofis tentang kepemimpinan, keadilan, dan kebijaksanaan.

Cerita Wahyu Cakraningrat sendiri merupakan cerita kepemimpinan yang mampu menghandayani ( memverifikasi contoh ) rakyat, yang memegang teguh kejujuran , memberikan keteladanan , rasa aman serta nyaman , dan tentram kepada rakyat , sebagai pemegang amanah tanpa membedakan seseorang / rakyat nya apa latar belakang pendidikan nya, status sosialnya, agama nya, Ras, suku, dan budayanya , yang sangat menjaga keseimbangan alam yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan sebagai hukum alam ( Sunatullah ) .

Bung Karno ( Presiden pertama Soekarno ) sendiri menulis dalam buku nya yang berjudul dibawah bendera revolusi pada catatan tulisan tangan beliau pada halaman belakang pada buku jilid 1 Dibawah bendera revolusi , bahwa yang bisa membawa kepada bangsa kita menjadi mercusuar dunia, yang mencapai adil makmur gemah Ripah loh jinawi , adalah seseorang yang mempunyai jiwa spirit Wahyu Cokroningrat , artinya bung Karno juga meyakini , bahwa Wahyu Cokroningrat bukan hanya sebuah simbol atau mitologi Jawa , akan tetapi merupakan spirit bagi pemimpin bangsa ini .

Dalam cerita Wahyu Cakraningrat disebutkan Raden Samba putra dari Prabu Krisna , sangat menginginkan Wahyu Cakraningrat apapun jalanya harus didapatkan , demikian juga Raden Abimayu putra dari para Pandawa Lima, serta Raden Lesmana Mandra Kumara sangat menginnginkannya   walau akan tetap berusaha dengan cara sportif , karena hal itu tidak bisa diminta dan tidak mungkin juga bisa ditolak bagi yang memang sudah jadi takdir nya mendapatkan nya.

Bagi orang pada dunia modern saat ini , yang selalu berpikir empiris dan rasional , yang selalu mengesampingkan mata batiniah , yang hanya bersandar logika, menduga bahwa Wahyu Cakraningrat adalah sebuah benda tiga dimensi yang mempunyai volume, berat , ruang tertentu serta ada pada waktu tertentu.yang diyakini sebagai senjata pamungkas , tiada lawan tanding lagi untuk mengalahkan musuh musuh nya, yang bisa jatuh dan dimiliki oleh semua orang tokoh siapapun baik yang berwatak Protagonis maupun antagonis .

Padahal sejatinya Wahyu Cakraningrat adalah sebuah ” Ruh ” dari Bathara Cakraningrat yang lebih tepat nya spirit kekuatan dengan deminsi ruh , berupa cahaya , Cakranigrat yang harus secara eksis dan mutlak sifat ya saat Wahyu tersebut turun ke dunia nyata pada jaman dan waktu yang telah digariskan yaitu adanya syarat mutlak , ” Adanya kurungan Kencana ” ( Jasad emas ) yang memang sudah ditakdirkan . Cakra adalah Roda berputar dengan gerigi berbentuk Cakra , sedang ningrat adalah kemuliaan , dimana Wahyu tersebut adalah suatu spirit berupa Ruh yang selalu bergerak dan berputar di alam semesta , mengelilingi dan membawa unsur unsur kemuliaan .

Bathara Cakraningrat ratusan bahkan ribuan tahun selalu mencari kurungan Kencana yang punya sifat bersih lahir batin , cerdas, tahan godaan , tahan fitnah, yang mempunyai prinsip Sepi ing pamprih rame ing gawe ( bekerja tidak mengharapkan imbalan ) , berbudi luhur Budi Laksono , jujur dan sangat bisa dipercaya.

Bathara Cakraningrat tidak bisa masuk melalui sembarang kurungan ( jasad ) pada semua orang atau pemimpin, akan tetapi mutlak harus masuk dan menyatu pada kurungan Kencana.

Dalam konteks kepemimpinan saat ini, Wahyu Cakraningrat berkisah bagaimana pemimpin lahir dari dedikasi dan kehendak kuat dalam perjalanan panjang. Teruji oleh sejarah. Lahir sebagai pemimpin dan teladan yang memegang teguh kejujuran, ketaatan atas aturan serta taat atas hukum.

Pemimpin yang baik memiliki rekam jejak yang baik sekaligus memiliki perjalanan panjang, dan tentu saja taat hukum bukan yang mempermainkan hukum demi kekuasaannya.

Lakon Wahyu Cakraningrat menjadi pengingat bersama pentingnya ketaatan konstitusi berdasarkan hukum. Pemimpin harus menjaga Pancasila dan UUD 1945. Bila pemimpin tidak taat hukum dan tidak taat konstitusi, dia bukan sosok pemimpin yang tersinari Wahyu Cakraningrat.

Menjadi pemimpin memiliki perjalanan hidup dengan beragam. Ujian hidup yang panjang, tidak instan dan hanya mengandalkan pengaruh dan cawe-cawe orang lain. Pemimpin itu penting hadir memberikan rasa aman, kasih sayang dan menjaga persatuan bangsa. Pemimpin dengan rekam baik dan jejak positif, pemimpin yang yang taat hukum. Tulus melayani masyarakat dengan segenap jiwa raganya, bukan melayani tetapi hanya untuk pencitraan.

Filosofi Wahyu Cakraningrat merupakan cerita kepemimpinan yang mampu menghandayani rakyat, mempegang teguh kejujuran, memberikan keteladanan, rasa aman, nyaman, dan tenteram kepada rakyat, serta memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku amanah, dan merekatkan warganya tanpa membedakan latar belakang, agama, ras dan budaya, serta peduli terhadap lingkungannya.

Cerita Wahyu Cakraningrat Dalam Pewayangan

Cerita Wahyu Cakraningrat bercerita tentang upaya tiga orang satria yaitu, Raden Lesmono Mandrakumara, Raden Sombo Putro dan Raden Abimayu yang berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Ketiganya sama-sama berambisi besar menjadi Ratu. Untuk itu, mereka harus bertarung dan mendapat gelar ”Wahyu Cakraningrat”. Namun mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah karena sejumlah syarat harus dipenuhi agar Wahyu Cakraningrat bisa majing atau sejiwa dengan satria terpilih. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah: mampu handayani (membuat contoh yang baik) kepada rakyat, berpegang pada kejujuran, mampu memberikan keteladanan, mampu memberikan rasa tenteram kepada rakyat, mampu memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku amanah, mampu merekatkan seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang, agama, ras dan budaya, serta harus peduli terhadap lingkungan.

Raden Lasmana Mandrakumara ingin memiliki Wahyu Cakraningrat, dan dia harus bertapa di hutan Gangga Warayang. Pada saat ditanya tentang kesanggupannya bertapa di hutan, maka Raden Lasmana Mandrakumara menjawab sanggup bertapa di hutan tersebut. Namun dia ingin agar dijaga paman-pamannya, di antaranya adalah Sengkuni dan Drona. Yang paling penting bagi Lasmana Mandrakumara adalah membawa minuman dan makanan dengan tujuan agar tidak kelaparan pada saat bertapa meraih wahyu.

Dengan demikian diri si tapa akan tenang sehingga wahyunya nanti akan mudah menyatu ke tubuh (manjing sarira), itulah pemikiran para sesepuh Hastina. Keberangkatannya di antar oleh para punggawa prajurit berkuda dan Lasmana Mandrakumara naik Joli Jempana yaitu kereta yang ditarik lebih dari dua ekor kuda.

Lain lagi dengan putra mahkota Dwarawati satriya Parang Garuda Raden Samba. Dia satriya yang pemberani juga ingin bertapa di dalam hutan Gangga Warayang untuk meraih Wahyu Cakraningrat. Kebertangkatannya diantar oleh para senapati sampai di perbatasan kraton. Selanjutnya berangkat sendiri dengan berjalan kaki.

Ketika dalam perjalanan, Raden Samba bertemu dengan orang-orang Kurawa yang juga akan menuju ke hutan Gangga Warayang guna menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat. Secara persaudaraan mereka saling bertegur-sapa tetapi setelah mengetahui keperluan masing-masing, mereka menjadi selisih pendapat. Awalnya hanya pertengkaran mulut, tetapi akhirnya menjadi pertengkaran fisik. Karena Raden Samba hanya sendirian maka ia tidak mampu melawan Kurawa, dan akhirnya menyingkir. Ada satu kebulatan tekad dalam diri Raden Samba.

Walaupun kalah perang melawan orang-orang Kurawa dari Hastina bukan berarti harapan untuk memiliki Wahyu Cakraningrat berhenti. Wahyu Cakraningrat harus bisa diraih dan bisa menjadi miliknya, begitulah pikiran Raden Samba. Agar tidak bertemu dengan orang Hastina yang urakan itu maka Raden Samba melanjutkan perjalanan menuju hutan Gangga Warayang dari sisi lain.

Berbeda dengan Raden Abimanyu yang dikeroyok lima raksasa hutan, dan nampak satriya tersebut agak kewalahan. Kebetulan di angkasa terlihat Raden Gathotkaca yang sedang mencari Raden Abimanyu atas perintah sang paman Raden Arjuna.

Dari angkasa Raden Gathotkaca telah melihat dengan jelas kejadian yang menimpa Raden Abimanyu, maka dengan segera dan cepat-cepat turun untuk membantu Raden Abimanyu. Dalam sekejab tamatlah riwayat lima raksasa pembegal itu di tangan Raden Gathotkaca. Setelah beristirahat sejenak, Raden Abimanyu menjelaskan kepada Raden Gathotkaca, bahwa dia sedang mencari Wahyu Cakraningrat. Maka Raden Gathotkaca dimohon agar pulang dahulu. Setelah Raden Gathotkaca pulang maka Raden Abimanyu melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu gunung yang dijadikan sebagai tempat bertapa.

Sedangkan Punokawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berada di tempat yang jauh menanti selesainya Raden Angkawijaya (Abimanyu) bertapa. Sudah berbulan-bulan belum ada tanda-tanda selesai bertapa.Tiba-tiba keempat panakawan tersebut di suatu hari waktu larut malam melihat cahaya sangat terang turun di hutan Gangga Warayang bagian timur yang disusul dengan suara gunung meletus. Panakawan bingung, khawatir terhadap tuannya (bendaranya) yaitu Raden Angkawijaya, jangan-jangan suara tadi mengenainya sehingga mengakibatkan kematian. Baru saja akan beranjak tiba-tiba para panakawan mendengar sorak-sorai, yang ternyata adalah orang-orang Kurawa. Mengapa dan ada apa mereka bersorak-sorai? Wahyu Cakraningrat sudah turun dan berada pada diri Raden Lasmana Mandrakumara.

Para Kurawa langsung mengajak Raden Lasmana Mandrakumara pulang ke negeri Astina. Rasa suka cita yang tiada taranya telah dirasakan oleh semua punggawa Hastina yang dalam hatinya masing-masing merasa sukses dan berhasil. Para golongan tua di antaranya Drona, dan Sengkuni merasa berhasil dan sukses mendidik Raden Lasmana Mandrakumara. Yang muda merasa berhasil memberikan petunjuk dan arahannya kepada putra mahkota itu dan masing-masing merasa berjasa. Sehingga semua berkata “kalau tidak ada saya mungkin gagal untuk mendapat Wahyu Cakraningrat.”

Rombongan Kurawa segera pulang untuk merayakan keberhasilan Raden Lasmana Mandrakumara. Dalam perjalanan pulang rombongan Kurawa tidak merasa bahwa perjalanan kembali itu sudah mendapat separuh perjalanan. Tiba-tiba Raden Lasmana minta berhenti sebab dia bertemu orang yang berjalan sedang membawa barang bawaan dan tidak menghormat saat berada di depan Raden Lasmana Mandrakumara. Maka ditendanglah hingga orang itu terguling-guling di tanah dan barang bawaannya terlempar jauh serta hancur berantakan.

Begitu ada kejadian seperti itu maka para punggawa yang merasa berjasa cepat-cepat ikut marah. Orang tadi terus dipukuli dan ditendang seperti bola. Orang itu hilang berubah menjadi cahaya dan kemudian masuk ke tubuh Raden Lasmana Mandrakumara dan keluar lagi bersama Wahyu Cakraningrat. Seketika itu jatuhlah Raden Lasmana Mandrakumara hingga pingsan. Mereka bersama-sama lari mengejar Wahyu Cakraningrat dan saling mendahului. Raden Lasmana Mandrakumara ditinggal sendirian di tempat itu. Sejenak peristiwa itu berlalu, terlihatlah dua cahaya dari angkasa turun di hutan Gangga Warayang di bagian sebelah barat.

Tidak lama kemudian Raden Samba yang bersemedi di tempat tersebut merasa bahwa dirinya sudah bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dia sangat bangga bahwa dengan kekuatan sendiri bisa mendapatkan wahyu tersebut. Maka berangkatlah Raden Samba pulang ke Dwarawati dengan hati yang sombong karena Wahyu Cakraningrat sudah berada pada dirinya. Tiba-tiba Kurawa mengejar dan meminta wahyu yang sudah berada pada diri Samba. Sudah barang tentu Raden Samba tidak memperbolehkan. Terjadilah peperangan yang sengit.

Ternyata tidak ada yang bisa melawan kekuatan Raden Samba. Mereka lari tunggang langgang dan tidak ada lagi yang berani berhadapan dengan Raden Samba. Dengan larinya para Kurawa itu berarti mereka telah kalah dan tidak akan berani lagi mengganggu perjalanan Raden Samba. Demikianlah Raden Samba merasa dirinya paling kuat dan sakti mandraguna. Dia berani mengatakan ”akulah segalanya.” Bahkan Raden Samba telah berani mengukuhkan ”Akulah orang yang akan menurunkan Raja-raja “

Sesudah melontarkan kata-kata itu, dia lalu terdiam sejenak, dia seperti mendengarkan lengkingan kata-kata sang ibu dewi Jembawati ”Anakku ngger Samba, eling den eling ngati-ati marang sakehing panggoda. Eling-elingen ya ngger ya!” (anakku Samba, ingat dan hati-hatilah terhadap semua godaan, ingatlah angger). Dasar Samba anak yang congkak dan sombong, kata-kata ibunya itu selalu diingat tetapi tidak diperhatikan. Dalam hati kecil Raden Samba berkata ”namanya orang kuat karena mendapat wahyu maka tak ada yang mampu mengganggu, contohnya Kurawa tak akan mampu mengalahkanku ha..ha..ha…” demikian kata-kata sombong Raden Samba. Sejenak kesombongan Raden Samba sedang bertahta dalam singgahsana hatinya. Seketika itu juga nampak di matanya seorang perempuan bersama seorang laki-laki tua. Si perempuan itu masih muda, cantik berkulit kuning langsap, bermata juling. Mereka menghaturkan sembah kepada Raden Samba. Dan tentu Raden Samba sangat rela untuk menerima sembahnya. Keduanya ingin mengabdi kepadanya. Itulah keperluan mereka berdua, mengapa keduanya menghadap ke sang penerima Wahyu Cakraningrat.

Seketika itu juga Raden Samba berkenan untuk menerimanya tetapi si laki-laki ditolak dengan alasan sudah tua dan dipastikan tidak mampu bekerja, justru akan membuat kesal saja. Dengan hinaan itu menyingkirlah orang tua tersebut. Tentu saja si perempuan cantik itu mengikuti jejak si tua. Tetapi Raden Samba telah mengejarnya, sambil merayu si perempuan cantik yang mengaku bernama Endang Mundhiasih. Jawab Mundhiasih sambil melontarkan kemarahan atas ketidak adilan serta tidak adanya rasa belas kasih terhadap orang tua, hanya perempuan saja yang dikejar-kejar. Endang Mundhiasih berkata “Wahyu Cakraningratmu tidak pantas untuk menghujat”. Ternyata Mundhiasih dan orang laki-laki tua itu kemudian hilang bersamaan dengan sinar Wahyu Cakraningrat pergi meninggalkan Raden Samba.

Seketika itu badan raden Samba terasa lemas bagaikan orang tak berpengharapan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Bukan main rasa kecewa Raden Samba terhadap watak sombong dan congkaknya ketika merasa wahyunya sudah pergi. Wahyu Cakraningrat tidak kuat menempati rumah (tubuh) yang congkak dan sombong. Akhirnya Raden Samba menyadari bahwa Wahyu Cakraningrat bukanlah miliknya. Apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur maka pulanglah Raden Samba ke Kadipaten Parang Garuda di negara Dwarawati.

Di tempat lain, di sebelah selatan hutan Gangga Warayang, terlihat empat panakawan seperti biasa masih menanti selesainya tapa sang Bendara. Pekerjaan seperti ini sudah terbiasa dilakukan oleh para panakawan sejak jaman Maharesi Manumayasa.

Namun pada malam hari mereka berempat merasa seperti ada bayangan hitam berada tepat di tengah-tengah mereka. Bayangan tersebut sambil berkata ”Jawata bakal marengake dheweke nampa Wahyu Cakraningrat ”. (Dewata memperkenankan dia untuk menerima Wahyu Cakraningrat) Demikian para panakawan bergembira ria karena bendaranya telah mendapatkan apa yang didiinginkan. Dan benar, Raden Angkawijaya telah keluar dari pertapaannya. Wajahnya kelihatan cerah bersinar, tubuhnya nampak segar utuh tanpa cela. Memang itulah tubuh yang telah berisi wahyu.

Maka berangkatlah pulang dan mereka memperhitungkan bahwa apa yang diidamkan telah terlaksana dan selesailah. Tiba-tiba datang para Kurawa mengejar Raden Angkawijaya yang telah mendapat Wahyu Cakraningrat. Para Kurawa mengejar Raden Abimanyu karena ingin merebut Wahyu Cakraningrat dan ternyata para Kurawa tidak mampu mengejarnya hingga Raden Angkawijaya sudah sampai di istana Amarta yang pada saat itu di Amarta sedang ada rapat rutin (siniwaka).

Mereka semuanya bersyukur karena apa yang diinginkan Angkawijaya telah menjadi kenyataan. Dan Angkawijaya-lah kelak yang akan menurunkan raja-raja di Jawa.Tak lama kemudian terdengar suara ramai di luar yang ternyata orang-orang Kurawa yang merasa bahwa Wahyu Cakraningrat sudah menjadi milik Raden Lasmana Mandrakumara, maka mereka menginginkan agar Wahyu Cakraningrat di kembalikan kepada Raden Lasmana Mandrakumara. Peperangan antara Kurawa dengan Pandawa tak bisa dihindarkan. Namun tak ada si jahat dapat mengalahkan kebaikan.

*) Pekerja Media, Penikmat Kopi Pahit



Source link