Menyelamatkan yang Tersisa dari Prosesi Adat

Untuk bisa dianggap dewasa, remaja suku Huaulu harus pergi ke hutan dan berburu selama beberapa hari, dalam prosesi yang disebut sebagai cidaku. Salah satu yang harus diburu, adalah burung Kakatua. Seorang pria dewasa dari suku ini, harus memiliki semacam mahkota, yang untuk setiap orang dibutuhkan bulu jambul dari dua Kakatua.

“Itu membutuhkan bulu Kakatua untuk proses cidaku. Jadi semenjak leluhur kami itu ada, sampai kami sekarang ini, kami tetap pada proses ritualisasi seperti itu,” kata Samuel, tokoh masyarakat suku Huaulu kepada VOA.

“Jadi, setiap anak-anak kami yang mau dikasih cidaku itu, mereka harus pakai bulu Kakatua itu, dan kita harus cari Kakatua,” tambahnya.

Samuel menjelaskan, dalam prosesi cidaku, remaja Huaulu dilepas ke hutan untuk berburu. Para tetua menentukan jangka waktu perburuan itu.

“Kalau dia dikasih waktu lima hari, dapat dan tidak dapat, dia harus kembali dalam waktu 5 hari itu. Di situ dilihat, dari hasilnya, hasil tangkapannya itu. Kalau dia tangkapannya lumayan, artinya dia berhasil. Ya sudah, itu salah satu syarat yang menjawab, sehingga anak itu bisa dikasih cidaku,” bebernya.

Cidaku diselenggarakan untuk menandai pengakuan remaja suku Huaulu sebagai warga dewasa. (foto: Dwi Agustina)

Cidaku diselenggarakan untuk menandai pengakuan remaja suku Huaulu sebagai warga dewasa. (foto: Dwi Agustina)

Antara Tradisi dan Pelestarian

Suku Huaulu tinggal di sisi utara pulau Seram, pulau terbesar di Maluku. Selain suku ini, ada pula suku Nuaulu yang tinggal di sisi selatan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan A. Muchaddam Fahham dan diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, diulas juga prosesi adat suku di Seram ini untuk menandai kedewasaan kaum laki-laki.

Fahham menulis dalam laporan penelitiannya, bahwa pada masa lalu, laki-laki di Seram dinyatakan dewasa jika telah mampu memenggal dan membawa pulang kepala seorang laki-laki dewasa. Kemampuan tersebut, menjadi tolok ukur dalam melindungi dan membela warga masyarakatnya, utamanya anak-anak dan perempuan.

Sejumlah remaja suku Huaulu mengikuti prosesi Cidaku. (foto: Dwi Agustina)

Sejumlah remaja suku Huaulu mengikuti prosesi Cidaku. (foto: Dwi Agustina)

Namun kini, tradisi itu telah bergeser, kedewasaan tidak lagi ditentukan dari kemampuan mengayau, atau membunuh orang untuk diambil kepalanya, tetapi oleh kemampuan berburu, menokok sagu dan bertani.

Peneliti dari perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI), Dwi Agustina juga menyebut, ritual cidaku ini di masa lalu terkait dengan perburuan kepala manusia.

“Negeri Huaulu ini negeri adat tertua, salah yang tertua di pulau Seram. Jadi mereka punya ritual namanya cidaku. Jadi awal dulu sebelum Indonesia punya hukum positif, sebelum merdeka, mereka cidaku itu dengan berburu kepala manusia di hutan,” kata Agustina.

Dwi Agustina dan Konservasi Kakatua Indonesia mengajak warga suku Huaulu melestarikan Kakatua yang hampir punah. (foto: Dwi Agustina)

Dwi Agustina dan Konservasi Kakatua Indonesia mengajak warga suku Huaulu melestarikan Kakatua yang hampir punah. (foto: Dwi Agustina)

Setelah Indonesia merdeka dan memiliki hukum positif, tradisi itu diubah. Kepala manusia tidak lagi menjadi syarat, tetapi diganti dengan berburu Binatang, dengan Kakatua menjadi salah satu sasaran untuk diambil bulu jambulnya yang indah.

“Dari Kakatua itu diambil bulunya. Bulu jambulnya itu dibuat mahkota. Mungkin mirip seperti burung cenderawasih di Papua,” tambah Agustina yang sudah bergerak dalam konservasi sejak 2007 dan mulai aktif melestarikan Kakatua sejak 2017 lalu.

Perubahan syarat cidaku, dari kepala manusia menjadi Kakatua tentu positif. Namun, konsekuensinya bagi populasi burung ini justru sebaliknya. Karena khawatir Kakatua habis dari alam, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018. Peraturan ini menjadi acuan pelarangan Kakatua, termasuk dalam prosesi adat seperti di Maluku ini.

Warga suku Huaulu menggelar prosesi adat cidaku bagi remaja yang beranjak dewasa. (foto: Dwi Agustina)

Warga suku Huaulu menggelar prosesi adat cidaku bagi remaja yang beranjak dewasa. (foto: Dwi Agustina)

Empat dari tujuh jenis Kakatua di Indonesia telah masuk apendiks 1 dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Artinya, mereka paling terancam punah. Sedangkan tiga jenis Kakatua lain masuk ke apendiks 2.

“Jadi kenapa penting, karena kalau misalnya terus berburu Kakatua, sementara Kakatua ini sudah dilindungi dan sudah mendekati punah, karena itu memang jenis yang endemik, ya akan habis berarti,” jelas Agustina.

Konservasi Kakatua Indonesia (KKI) memandang penting peran suku Huaulu dalam pelestarian Kakatua, karena sejumlah alasan. Pertama, adalah karena mereka menggunakan bulu jambul Kakatua dalam salah satu tradisinya. Kedua, mereka tinggal di kawasan penyangga hutan lindung dan Taman Nasional Manusela di pulau Seram. Otomatis, warga suku ini akan berburu Kakatua di kawasan lindung, karena dua alasan itu.

Sadar Demi Adat

Mengubah tradisi tentu bukan tantangan yang mudah diatasi. Dwi Agustina dan KKI mendampingi proses ini selama bertahun-tahun, dengan terlebih dahulu memahami apa yang diinginkan masyarakat. Agustina bercerita, sebelum perubahan tradisi pemakaian bulu Kakatua, masyarakat adat kerap ditangkap karena berburu burung itu.

“Kita datang dengan baik-baik, mengerti dulu apa yang mereka mau. Mencari jalan tengah,” ujar Agustina.

Suku Huaulu memang menempatkan Kakatua sebagai hewan sakral. Secara fisik, burung ini berbulu putih yang melambangkan hidup bersih, suci dan damai. Selain itu, burung ini juga hidup sebagai sebuah keluarga. Ketika anak Kakatua sudah dianggap dewasa, dia akan pergi dari sarang untuk mencari pasangan dan meneruskan garis keturunannya.

Bentuk mahkota dari bulu jambul Kakatua yang dipakai dalam prosesi cidaku oleh suku Huaulu. (foto Dwi Agustina)

Bentuk mahkota dari bulu jambul Kakatua yang dipakai dalam prosesi cidaku oleh suku Huaulu. (foto Dwi Agustina)

Pemahaman ini dijadikan dasar bagi Agustina untuk menyampaikan pemahaman, bahwa Kakatua akan habis jika terus diburu.

“Mereka sadar ada jalan tengah yang harus diambil. Bagaimana kalau bulunya itu diganti? Yang penting kan ada bulunya, karenanya itu diganti dengan bulu rontokan. Kakatua kan punya sirkulasi rontok bulunya,” jelas Agustina.

KKI pun berjanji membantu masyarakat adat, dengan mengumpulkan bulu Kakatua yang rontok, yang ditemukan di fasilitas penangkaran.

“Waktu itu kesepakatan terjadi di 2019, ada pihak Taman Nasional, ada BKSDA, Maluku. Mereka akhirnya mau tanda tangan bersama, membuat kesepakatan tersebut,” tambahnya.

Samuel mengakui timbulnya kesadaran masyarakat terkait pentingnya melestarikan Kakatua.

“Supaya jangan kita kalau perlu, kita nangkap. Kalau kita nangkap, kan otomatis Kakatua itu harus dibunuh. Kan, Kakatua itu enggak mungkin kalau di alam liar kita nangkap lalu cabut bulu, kan pasti dibunuh dulu baru ambil bulunya,” ujar Samuel.

Tokoh masyarakat Hualu, Samuel (kiri) bersama sepupunya yang akan mengikuti prosesi cidaku. (foto: Samuel)

Tokoh masyarakat Hualu, Samuel (kiri) bersama sepupunya yang akan mengikuti prosesi cidaku. (foto: Samuel)

Kesadaran itu membuat mereka mau mengubah persyaratan dalam tradisi cidaku. “Kita pakai saja bulu-bulu yang rontok dari penangkaran, yang penting yang sama, bulu Kakatua. Yang penting, bisa memenuhi persyaratan yang kita butuhkan. Artinya, masyarakat adat juga sudah mulai bisa memahami,” kata dia lagi.

Namun, Agustina dan KKI saat ini sedang mendorong konsep yang lebih lestari lagi. Masyarakat adat disarankan untuk menggunakan mahkota bulu Kakatua yang telah ada dari kakek moyang mereka. Jadi tidak harus membuat mahkota baru.

“Jadi, bulu ini kita mau awetkan yang punya leluhurnya, kakek-kakeknya. Kan setiap anak sampai dia dewasa, dia menyimpan bulu mahkota itu. Nah, itu mau kita sakralkan, itu dibuat turun temurun ke anak cucunya. Mereka jadinya lebih bangga, memakai mahkota punya kakeknya. Nanti kita bantu kalau misalnya mahkotanya itu rusak, kita bantu untuk benerin bulu-bulunya,” papar Agustina.

Foto Kakatua dari hasil penyitaan yang diabadikan Konservasi Kakatua Indonesia. (foto Dudi Nandika KKI)

Foto Kakatua dari hasil penyitaan yang diabadikan Konservasi Kakatua Indonesia. (foto Dudi Nandika KKI)

Penghargaan Internasional

Dwi Agustina kini sedang menempuh pendidikan magister di fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kiprahnya di pulau Seram ini, dia susun sebagai sebuah riset dengan judul “Aligning Cockatoo Conservation Efforts with Local Huaulu Customary Wisdom on Seram Island, Maluku, Indonesia”.

Pada 14-17 November lalu, Agustina mengikuti konferensi Ornithological di Beijing, China, yang dihadiri 528 delegasi 76 universitas dan 37 lembaga penelitian dari 39 negara. Konferensi ini merupakan ajang peningkatan pertukaran akademik antar negara dikawasan Asia, mempromosikan penelitian

dan konservasi di bidang ornithology, yang merupakan studi tentang fisiologi, evolusi dan perilaku burung. Konferensi tersebut diselenggarakan oleh International Ornithology Union (IOU) dan Institute of Zoology, Chinese Academy of Sciences serta bekerja sama dengan International Zoological Society, China Ornithological Society dan jurnal Avian Research.

Dalam ajang ini, riset Agustina tentang pelestarian Kakatua dan kearifan lokal masyarakat adat Huaulu ini menerima penghargaan “First Prize Presentation Awards”.

Sedangkan Dudi Nandika, rekan Agustina sesama pegiat konservasi burung di Konservasi Kakatua Indonesia, juga menerima penghargaan “First Prize Poster Award” di ajang ini.

Dwi Agustina (kiri) menerima penghargaan dalam konferensi di Beijing, China, untuk risetnya tentang pelestarian Kakatua dan suku Huaulu. (foto: Dwi Agustina)

Dwi Agustina (kiri) menerima penghargaan dalam konferensi di Beijing, China, untuk risetnya tentang pelestarian Kakatua dan suku Huaulu. (foto: Dwi Agustina)

Dudi adalah mahasiswa doktoral Fakultas Biologi UGM, yang menyusun riset “Recent Data Analysis Feeding Guilds Bird Community as a Bioindicator for Manusela National Park Management, in Maluku”. Riset ini dilaksanakan untuk mencari tahu data populasi dan komposisi jenis burung di Taman Nasional (TN) Manusela, Maluku. Data tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan kawasan dan pemutakhiran data dalam penentuan kebijakan penentuan status suatu jenis burung.

Dudi menjelaskan, riset ini dilatar belakangi ancaman perburuan liar di Maluku, sehingga dibutuhkan perhatian khusus karena peran ekologi mereka yang dinilai sangat penting untuk ekosistem.

“Perburuan liar merupakan ancaman terbesar yang dihadapi oleh burung liar di wilayah Maluku, 86 persen jenis satwa liar yang berhasil disita oleh BKSDA adalah dari keluarga Aves,” kata Dudi.

Menurut Dudi, peran ekologi burung dalam ekosistem sangat penting, dan dapat menjadi indikator kesehatan lingkungan dan perubahan ekologi atau habitat. “Sangat diperlukan kebijakan yang dapat melindungi satwa jenis aves yang berada di Taman Nasional Manusela,” ujarnya.

Dua riset ini, dan aktivitas pelestarian di pulau Seram menjadi sangat penting, untuk memastikan Kakatua sebagai burung endemik kawasan tersebut, bisa dilestarikan.

Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof Budi Setiadi Daryono, berharap penghargaan dan hasil riset kedua mahasiswa ini diharapkan memberi manfaat pada masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah motivasi untuk upaya penelitian dan konservasi burung di Indonesia.

“Kedua mahasiswa ini telah lama menjadi praktisi dalam dunia konservasi burung khususnya burung paruh bengkok, namun konferensi ini tentu merupakan ajang mempromosikan diri dan meningkatkan jaringan di dunia yang lebih luas, serta menambah wawasan,” kata Budi. [ns/ab]

Source link