20 Tahun Berjalan, Koalisi Masyarakat Sipil akan Terus Berjuang Demi RUU PPRT
Anggota Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih, memiliki harapan kepada pemerintahan dan anggota DPR yang baru terhadap nasib RUU PPRT yang sudah diperjuangkan selama 20 tahun.
Perjalanan panjang RUU tersebut kini telah sampai pada tahap telah disetujuinya RUU PPRT untuk masuk dalam Program Legislasi (Prolegnas) Prioritas DPR RI periode 2024-2029.
“Apakah masih ada harapan? Ya tentu saja kita tidak boleh kehilangan harapan. Di aliansi kita ada banyak sekali organisasi yang mendukung isu ini. Harapannya di periode ini ke depan, itu sudah masuk ke dalam panja (panitia kerja) sehingga bisa masuk ke pembahasan tingkat I, untuk pengesahan,” ujar Jumisih dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (17/11).
“Jadi, harapan ini bukan cuma harapan kita, tetapi juga harapan jutaan PRT di dalam dan di luar negeri. Harapan yang diimpikan jutaan manusia yang menyandang gelar atau predikat sebagai PRT atau pekerja rumah tangga,” imbuhnya.
Menurut Jumisih, pengesahaan RUU PPRT ini bukanlah tanpa alasan. Kondisi di lapangan yang kerap menimpa para PRT tersebut tidak menunjukkan perbaikan, bahkan semakin memburuk.
Jumisih mencontohkan, rekan-rekan PRT di lapangan kerap mengeluhkan upah yang didapatkan tidak sesuai dengan beban kerja yang diberikan oleh pemberi kerja. Selain itu jam kerja yang sangat panjang, dan diskriminasi serta celaan kasar dari pemberi kerja juga masih dirasakan oleh mereka.
“Karena mereka bekerja di area domestik, itu tidak tampak, tidak terlihat karena mereka bekerja di area domestik yang tidak tampak secara langsung ke publik. Hasilnya yang tahu juga pemberi kerja. Jadi hal-hal seperti itu akhirnya menjadi situasi yang kemudian layak kita cermati, PRT juga manusia yang itu sama dengan kita, dan ada hak yang direnggut pada saat dia tidak memiliki perlindungan hukum. Hak apa? Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik misalnya,” jelasnya.
PRT, kata Jumisih, masih sering dianggap sebagai pekerja yang dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, padahal pekerjaan yang dilakukannya tidak mudah. Maka, menurutnya, tidak heran banyak yang tidak memanusiakan para pekerja rumah tangga tersebut. Padahal, menurutnya PRT merupakan sebuah sektor pendukung dari berbagai industri penting di Tanah Air dan penggerak ekonomi di lingkungan masyarakat.
“Jadi pekerjaan yang dilakukan oleh teman-teman PRT itu adalah pendukung dari kerja industri. Makanya kita sering sampaikan bahwa PRT itu adalah pendukung dari gerak ekonomi di negara kita. Kerja-kerja domestik yang dilakukan PRT itu berkontribusi besar sehingga para pemberi kerja bisa masuk ke kantor, bisa menjalankan bisnisnya dan lain-lain,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Nabila Tauhida dari Emancipate Indonesia menilai bahwa kondisi yang tidak baik yang dihadapi para pekerja rumah tangga ini tidak ubahnya seperti perbudakan di era masa kini.
Apalagi, katanya, masih banyak PRT yang berusia produktif dan bahkan anak-anak. Kondisi ini, menurutnya, sebagai dampak dari masih minimnya masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses kepada pendidikan yang lebih baik sehingga mereka mengadu nasib ke kota untuk menjadi pekerja rumah tangga. Faktor kemiskinan, katanya, juga ikut berperan sehingga para generasi muda yang seharusnya duduk di bangku sekolah harus rela membanting tulang demi sesuap nasi.
Nabila menilai kondisi ini cukup memprihatinkan, dan apabila ini terus berlanjut maka cita-cita Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 dipastikan tidak akan tercapai.
“Ternyata banyak orang muda yang menjadi korban juga, dan harusnya kita pahami bahwa orang muda sekarang lagi digadang-gadang buat menjadi bonus demografi. Kita mau Indonesia emas, tetapi kalau ternyata PRT saja itu kepastian hukumnya belum ada. Dan itu akan sangat berpengaruh ke kehidupan kita ke depannya kalau misalnya kerja yang dilakukan PRT masih dianggap sebagai kerja-kerja yang bukan kerja,” ungkap Nabila.
Ia juga mengatakan, PRT merupakan pekerjaan yang masuk dalam kategori sektor informal, yang artinya memiliki perlindungan minim dari segala aspek. Maka dari itu UU PPRT tersebut perlu segera disahkan mengingat kerentanan yang dihadapi oleh para pekerja rumah tangga ini yang mayoritas digeluti oleh kaum perempuan.
“Emancipate Indonesia juga mendukung kondisi kerja yang layak dan inklusif. Jadi tidak ada diskriminasi. PRT biasanya lebih banyak dilakukan oleh perempuan, itu juga ada diskriminasi gender juga. Terkait dengan diskriminasi harusnya sudah tidak ada, upah dan bebannya harusnya sesuai, kalau misalnya pemberi kerja belum bisa memberikan upah yang lumayan, ya harusnya beban kerjanya disesuaikan. Hak kebebasan untuk berpendapat dan berkumpul juga harusnya dimiliki oleh PRT,” tegasnya.
Jumisih dalam kesempatan ini juga menegaskan bahwa pihaknya bersama dengan organisasi-organisasi lainnya tidak akan pernah lelah untuk memperjuangkan UU tersebut. Pihaknya, kata dia, masih berupaya untuk melakukan lobi kepada anggota dewan agar RUU PPRT ini bisa masuk ke pembahasan tingkat I. Menurutnya, hal ini bisa terjadi apabila partai politik dan badan legislasi (baleg) setuju. Namun, katanya, tinggal PDIP saja yang belum menyetujui hal tersebut.
“Sejauh ini kita sudah ada partai-partai yang mendukung kecuali PDIP. Ini aneh, PDIP mengaku sebagai partai wong cilik, tapi tinggal PDIP yang belum OK untuk ketok palu. Jadi dorongannya adalah mendesak PDIP untuk OK dan untuk bisa PDIP OK kita harus menembus Mbak Puan, di mana Mbak Puan itu adalah yang susah ditembus, tapi walaupun begitu, kita tetap akan berupaya untuk mencari cara,” katanya.
Selain itu, Jumisih mengatakan kampanye dan aksi-aksi di luar parlemen pun akan terus digencarkan oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai organisasi-organisasi yang harapannya bisa menjadi pemicu bagi anggota dewan untuk segera mengesahkan UU tersebut.
“RUU PPRT sudah 20 tahun, bahkan kita minta keterbukaan anggota dewan untuk juga melihat kondisi PRT yang juga sudah banyak dibahas di media massa. Mereka juga adalah warga negara, bukankah konstitusi kita menyatakan satu orang pasti dilindungi secara hukum di negara hukum? Tetapi ini jumlahnya jutaan, bagaimana negara memperlakukan jutaan manusia ini?” pungkasnya. [gi/ab]