Pejabat Publik Tidak Mau Dikonfirmasi Wartawan Lebih Baik Pensiun Saja
Catatan D. Supriyanto Jagad N *)
Membaca berita di salah satu media online yang memberitakan arogansi seorang oknum pejabat publik di Kabupaten Tasikmalaya yang tidak mau dikonfirmasi wartawan, bahkan memblokir platform WA wartawan sangat disayangkan.
Sikap oknum pejabat tersebut sangat tidak elok. Sebagai pejabat publik, harusnya bisa lebih kooperatif dan memberi klarifikasi secara detail, harus menjawab pertanyaan publik apa lagi konfirmasi dari wartawan karena Wartawan itu Penyalur Informasi.
Bila pejabat itu tidak mau menjawab konfirmasi dari wartawan lebih bagus mundur aja dari jabatannya, atau mengajukan pensiun dini.
Tugas seorang wartawan atau insan media saat menulis sebuah berita dan akan diterbitkan kemudian terpublikasi harus dilakukan secara berimbang dan melalui beberapa tahapan yang disyaratkan diantaranya melalui Konfirmasi ke Nara Sumber untuk mencari informasi, lalu cek and ricek terkait kebenaran informasi (fakta).
Hal tersebut termaktub dalam aturan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang merupakan pedoman bagi Insan Media dalam menjalankan tugasnya dalam mencari , mendapatkan, menyimpan informasi baik melalui wawancara ataupun berbentuk data yang ditulis untuk selanjutnya dipublikasikan.
Sehingga apa yang disuguhkan merupakan fakta ,berimbang dan tidak menimbulkan fitnah maupun berbenturan dengan aturan hukum yang berlaku.
Kewajiban wartawan adalah memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sesuai perintah Pasal 7 ayat (2) UU Pers. KEJ yang disepakati masyarakat Pers dan menjadi peraturan Dewan Pers ada 11 pasal. Antara lain adalah Pasal 1 tentang keseimbangan isi berita dan para pihak. Wartawan juga diwajibkan melakukan uji informasi atau konfirmasi.
Namun faktanya, para pejabat yang menjadi Nara Sumber yang mempunyai kompetensi atau kewenangan dalam menjawab hal yang ditanyakan oleh para pencari berita ini terkadang menghindar bahkan tidak sedikit yang tidak menjawab disaat di konfirmasi , baik secara doorstop maupun melalui telepon atau Aplikasi WhatAppnya.
Kenapa? dan apa yang salah bagi mereka (Insan Pers) disaat menjalankan tugas kewartawanannya untuk mendapatkan informasi yang valid ,sesuai fakta, berimbang dan sesuai dengan apa yang diketahuinya, para pejabat ini tidak mengindahkannya, tidak membalas saat dihubungi lewat selullarnya bahkan tidak sedikit yang memblokir nomor para pencari berita ini diduga menghindar untuk dikonfirmasi atau tidak senang secara personal.
Oleh karena itu, bagi para pejabat ini tidaklah elok, harus bersikap elegan dan tidak menghindar disaat di konfirmasi wartawan karena semua itu untuk mencari fakta, kebenaran, edukasi yang sudah menjadi tugasnya untuk mencari informasi sebuah berita.
Dan bila memang Wartawan sudah melakukan konfirmasi namun tidak ada jawaban maka hal tersebut tentulah menjadi tidak berimbang.
Apabila wartawan sudah melakukan hal itu baik Pasal 1 maupun Pasal 3 dengan patut dan ada pihak yang tidak mau memberikan keterangan maka pemberitaan dapat dipublikasikan dan upaya konfirmasi dituliskan pada bagian akhir.
Pejabat yang menolak dikonfirmasi perihal informasi publik itu merupakan bentuk ketidakterbukaan pemerintah.
Harus ada evaluasi bagi pejabat yang tidak terbuka, sebab hal itu merupakan wujud ketidakpahaman pejabat terhadap Pers, ini darurat, padahal para pejabat setiap hari pasti berhubungan dengan wartawan.
Patut disadari bahwa pejabat publik seharusnya tidak alergi terhadap wartawan. Seorang pejabat publik harus siap dihubungi oleh media, terutama dalam hal konfirmasi.
Kalau jadi pejabat publik, jangan sampai saat ditelepon wartawan malah tidak diangkat. Jadi kesannya seolah-olah wartawan yang salah karena dianggap tidak cover both side. Padahal, kadang narasumber yang tidak responsif. Maka, jika tidak siap menerima telepon wartawan, jangan jadi pejabat publik, pensiun saja.
Prinsip cover both side selama ini sering dianggap hanya menjadi tanggung jawab wartawan. Padahal, Pedoman Media Siber telah mengatur bahwa berita tanpa konfirmasi tetap dapat diterbitkan, asalkan alasan ketidakmampuan menghubungi narasumber dicantumkan.
Misalnya, saat wartawan menelepon tidak diangkat atau narasumber tidak dapat ditemui, itu harus ditulis. Jadi bukan berarti wartawan tidak mau cover both side, tetapi narasumber yang sulit dihubungi. Prinsip ini berlaku adil bagi semua pihak. Jadi jangan mengkambinghitamkan wartawan.
Proses konfirmasi adalah bagian penting dari kerja jurnalistik dan menjadi pembeda antara media profesional dan media sosial.
Wartawan itu menguji informasi melalui konfirmasi, wawancara, dan penyuntingan hingga informasi tersebut menjadi berita. Berita tidak bisa hanya berdasarkan katanya. Itu hanya berlaku untuk informasi, bukan berita.
Seorang pejabat publik seharusnya bisa memahami bahwa Pers dmemiliki peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati perbedaan dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, pers juga berperan dalam mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Dalam melaksanakan tugas sehari hari, pers nasional juga berperan dalam mengawasi, memberikan kritik dan saran, serta hal hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Tidak kalah pentingnya, pers juga berperan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pejabat sebaiknya tidak alergi terhadap wartawan karena wartawan dapat menjadi mitra kerja yang baik. Pejabat sebaiknya dapat menerima kritikan dan masukan dari wartawan dan media.
Pada dasarnya pers mempunyai kemerdekaan dalam menjalankan profesinya. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat (3) UU Pers No 40 1999).
Ini berarti pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan publik.
*) Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia