Indonesia Berharap Proses Transisi di Suriah Berlangsung Inklusif, Demokratis, dan Damai
Pemerintahan Presiden Suriah Basyar al-Assad tumbang pada Minggu pagi (8/12) setelah kelompok pemberontak menguasai Ibu Kota Damaskus. Ribuan warga Suriah langsung merangsek Istana Kepresidenan, memasuki ruang demi ruang yang dipenuhi perabotan dan dokumen yang berserakan.
Assad sendiri tidak diketahui keberadaannya. Ada spekulasi bahwa Assad melarikan diri ke Uni Emirat Arab, di mana keluarga besarnya diketahui memiliki properti di Dubai. Data pelacakan penerbangan menunjukkan adanya jet-jet pribadi yang bergerak antara Damaskus, Suriah, dan UEA pada hari Sabtu (7/12).
Diplomat senior UEA Anwar Gargash, yang menjadi pembicara dalam forum “Dialog Manama” di Bahrain, menolak menjawab pertanyaan wartawan tentang keberadaan Assad. Ia mengibaratkan hal itu sebagai “catatan kaki dalam sejarah.”
Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang mengamati dengan seksama perkembangan di Suriah, lewat X mengatakan “krisis di Suriah hanya dapat diselesaikan melalui suatu proses transisi yang inklusif, demokratis, dan damai yang mengedepankan kepentingan dan keselamatan rakyat Suriah yang tetap menjaga kedaulatan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah Suriah.”
Lebih jauh Kemlu RI menyerukan kepada semua pihak untuk “menjamin perlindungan warga sipil sesuai dengan hukum internasional, terutama Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM Internasional.”
Sejak meningkatnya perlawanan kelompok pemberontak di Suriah pada awal pekan ini, KBRI Damaskus telah menetapkan Status Siaga 1 untuk seluruh wilayah di negara itu, yang sebelumnya hanya menetapkan delapan provinsi dengan status siaga 1. Kedelapan provinsi itu yaitu Aleppo, Idlib, Hama, Deir Ez-Zor, Hasaka, Raqqa, Daraa, Suwaida.
Kemlu RI menegaskan, “KBRI Damaskus telah mengambil semua langkah yang dipandang perlu untuk memastikan keselamatan WNI, termasuk mempersiapkan kemungkinan evakuasi ke tempat yang lebih aman, jika situasi keamanan memburuk.”
Kemlu RI: Ada 1.162 WNI di Suriah
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha mengatakan saat ini tercatat ada 1.162 WNI di Suriah, yang mayoritasnya adalah pekerja rumah tangga dan pelajar. Mereka tersebar di berbagai wilayah, termasuk 29 yang di Aleppo dan enam di Homs. Aleppo dan Homs adalah dua wilayah yang menjadi pusat pergolakan di Suriah.
Menurut catatan KBRI, saat ini tercatat 758 WNI tinggal di Damaskus, 321 di Hasaka , 17 di Tartus, 20 di Latakia, dan 8 di Rif Damaskus.
Kelompok Pemberontak Suriah
Pengamat hubungan internasional di Universitas Padjadjaran Arfin Sudirman mengatakan jatuhnya rezim Assad ini akan berdampak luas ke Timur Tengah, terutama karena kuatnya tarik menarik di antara Rusia dan Amerika yang sama-sama memiliki pangkalan militer di sana. Juga pengaruh luas Turki pada kelompok-kelompok di dalam Suriah.
Berbeda dengan kelompok pemberontak ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang menguasai sebagian Suriah dan Irak pada tahun 2014, kelompok pemberontak yang menguasai Damaskus saat ini murni ingin menggulingkan Assad tanpa berpretensi menyebarluaskan ideologi ekstrem, tambah Arfin. “Setidaknya untuk saat ini saya melihatnya masih konflik domestik, belum sampai pada yang sifatnya transnasional,” tegasnya.
Arfin memproyeksikan kubu oposisi akan berdialog dengan kelompok kelompok pemberontak guna mencapai kompromi dengan pihak Assad agar tidak terjadi pertumpahan darah. Mengingat warga Suriah sudah sangat menderita karena konflik dan perang saudara berkepanjangan sejak tahun 2011, maka jika hingga tenggat waktu tertentu tidak tercapai kompromi, Arfin menilai sebaiknya PBB mengambil alih tanggung jawab sementara.
Campur Tangan Proksi Negara-negara Besar?
Dihubungi secara terpisah, Mohamad Rosyidin, pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro mengatakan perang yang terjadi Suriah saat ini merupakan kelanjutan dari perang tahun 2011. Yang memperburuk situasi adalah karena campur tangan proksi negara-negara besar, di mana Rusia mendukung Assad, sementara Barat mendukung kelompok pemberontak.
Rosyidin memahami jika militer Amerika masih tetap bertahan di bagian timur Suriah mengingat sel-sel ISIS yang masih tersisa kemungkinan akan bangkit kembali untuk mengambil keuntungan dari jatuhnya rezim Assad. ISIS, tambahnya, dapat saja melakukan konsolidasi dan kemudian menjelma sebagai organisasi dalam bentuk lain. [fw/em]