Harga Minyak Dunia Merosot Hingga 1 Persen ke Level Terendah
NUSANTARANEWS.co, Jakarta – Harga minyak dunia turun tajam pada Rabu, 18 Desember 2024, dini hari WIB, merosot hingga 1 persen ke level terendah dalam sepekan terakhir. Pelemahan ini dipicu oleh data ekonomi negatif dari China dan Jerman yang memicu kekhawatiran akan lemahnya permintaan global. Di saat yang sama, pelaku pasar bersikap waspada menjelang keputusan kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pekan ini.
Mengutip Reuters di Jakarta, Rabu, harga minyak Brent turun 72 sen atau 1 persen menjadi USD73,19 per barel, sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 63 sen atau 0,9 persen ke USD70,08 per barel. Penutupan ini menjadi yang terendah untuk Brent sejak 10 Desember 2024, dengan selisih harga Brent terhadap WTI menyempit ke USD3,54 per barel, terendah dalam tiga bulan terakhir berdasarkan kontrak Februari.
Analis menyatakan penyempitan selisih harga tersebut membuat pengiriman minyak mentah AS ke pasar global menjadi kurang ekonomis. Situasi ini berpotensi menekan ekspor minyak AS di tengah ketidakpastian pasar.
Tekanan Ekonomi Global, China dan Jerman
Dari China, data menunjukkan pertumbuhan output industri pada November sedikit membaik. Namun, penjualan ritel justru melemah, mengindikasikan lesunya konsumsi domestik. Kondisi ini memperkuat ekspektasi bahwa Beijing perlu menggulirkan stimulus tambahan untuk menggenjot perekonomian.
Ketidakpastian semakin bertambah dengan ancaman tarif perdagangan AS yang lebih tinggi pasca terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden.
Sementara itu di Jerman, sentimen bisnis pada Desember jatuh lebih dalam dari perkiraan, berdasarkan survei Institut Ifo. Survei ini mencerminkan pesimisme perusahaan terhadap prospek ekonomi beberapa bulan mendatang, dipicu oleh penurunan kinerja industri dan meningkatnya ketidakpastian geopolitik di ekonomi terbesar Eropa.
Di tengah tekanan global, ekonomi AS justru menunjukkan ketahanan. Data penjualan ritel untuk November mencatat kenaikan yang melampaui ekspektasi, ditopang oleh peningkatan penjualan kendaraan bermotor dan belanja daring.
Namun, laporan ini tidak banyak mengubah ekspektasi bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Rabu hari ini. Pemangkasan ini diperkirakan menjadi yang ketiga sejak The Fed memulai siklus pelonggaran kebijakan moneter pada September lalu.
Investor kini mencermati proyeksi kebijakan The Fed untuk 2025 guna melihat apakah bank sentral AS akan mengambil sikap lebih hati-hati, mengingat data ekonomi yang masih menunjukkan ketahanan dan inflasi yang persisten.
Persediaan Minyak dan OPEC+
Fokus pasar turut tertuju pada laporan persediaan minyak AS yang akan dirilis oleh American Petroleum Institute (API) pada Selasa malam, disusul laporan dari Administrasi Informasi Energi (EIA) pada Rabu. Analis memperkirakan penarikan sekitar 1,6 juta barel minyak dari cadangan pekan lalu. Jika angka ini terealisasi, maka ini akan menjadi penarikan minyak selama empat minggu berturut-turut, sebuah tren yang belum terlihat sejak Agustus.
Sementara itu, di Kazakhstan, Menteri Energi Almasadam Satkaliyev memproyeksikan produksi minyak dan kondensat pada 2024 akan mencapai 87,8 juta metrik ton, turun dari perkiraan awal sebesar 88 juta ton.
Di sisi geopolitik, Uni Eropa baru saja mengadopsi paket sanksi ke-15 terhadap Rusia yang menargetkan entitas China dan armada bayangan Rusia. Inggris turut menjatuhkan sanksi terhadap kapal-kapal yang diduga mengangkut minyak ilegal dari Rusia. Langkah ini menambah tekanan di pasar energi global.
Dalam upaya mendukung harga minyak, OPEC+—yang mencakup negara-negara anggota OPEC serta sekutu seperti Kazakhstan dan Rusia—telah sepakat untuk memangkas produksi minyak secara terukur. Meski demikian, volatilitas pasar minyak diperkirakan akan terus berlanjut di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dinamika geopolitik.
Tren Menurun
Pada perdagangan kemarin, Futures atau kontrak berjangka minyak turun dari level tertinggi dalam beberapa minggu karena tertekan oleh kelemahan belanja konsumen di China–negara pengimpor minyak terbesar dunia. Selain itu, para investor menahan pembelian menjelang keputusan suku bunga dari The Fed.
Seperti dikutip dari Reuters, futures minyak mentah Brent ditutup pada USD73,91 per barel, turun 58 sen atau 0,8 persen, setelah sebelumnya mencatatkan penutupan tertinggi sejak 22 November pada Jumat, 13 Desember 2024. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup pada USD70,71 per barel, terkoreksi 58 sen, atau turun 0,8 persen, setelah mencatatkan penutupan tertinggi sejak 7 November.
Pada pekan lalu, harga minyak mendapat dukungan dari ekspektasi bahwa pasokan akan semakin ketat dengan adanya sanksi tambahan terhadap produsen minyak Rusia dan Iran, sementara kemungkinan penurunan suku bunga di AS dan Eropa dapat mendorong permintaan.
“Kami merasa bahwa kejadian-kejadian minggu lalu telah tercermin dengan baik dalam harga, dan minggu ini tidak banyak hal yang dapat mendukung harga minyak,” kata Jim Ritterbusch dari konsultan Ritterbusch and Associates di Florida.
Penjualan ritel China yang lebih lambat dari yang diperkirakan menambah tekanan pada Beijing untuk mempercepat stimulus guna mengatasi ekonomi yang rapuh, yang juga menghadapi tarif perdagangan AS di bawah pemerintahan Trump yang kedua.
“Ini adalah skenario yang sangat bearish, di mana tidak banyak harapan untuk pertumbuhan permintaan minyak mentah,” kata Bob Yawger, direktur futures energi di Mizuho, New York.
Sumber: Kabarbursa