Penangkapan Truk Bermuatan Rokok Ilegal: Sopir Terjerat, APH Terindikasi Bermain
NUSANTARANEWS.co, Cirebon – Mengutip laporan dari MataExpose.co.id yang terbit pada 27 Oktober 2024, sebuah truk box bernomor polisi B 9018 KXX yang melintas dari Madura menuju Jakarta ditangkap Bea dan Cukai Cirebon di Tol Mundu, Cirebon. Truk tersebut memuat rokok ilegal senilai 900 juta rupiah dan melibatkan seorang sopir berinisial AD, warga Bekasi, yang mengaku hanya menjalankan tugas perusahaan pengangkutan barang di Jakarta.
AD menyatakan, ia awalnya mendapat instruksi untuk mengirimkan barang ke Madura. Namun, dalam perjalanan pulang, seorang pria berinisial BJR, yang kemudian diketahui sebagai oknum polisi berpangkat Aipda dari Polda Jawa Tengah, meminta AD untuk membawa barang lain ke Jakarta. Tanpa curiga, AD menerima permintaan tersebut. Selama perjalanan, BJR mengawal AD hingga Semarang, lalu digantikan oleh seorang suruhan. Sesampainya di Cirebon, truk tersebut dihentikan oleh petugas Bea Cukai Cirebon.
Ketika dikonfirmasi pada 29 Oktober 2024, Wawan dan Arya, penyidik Bea Cukai, menyatakan bahwa penangkapan memang terjadi pada 24 September 2024 dan bahwa barang bukti telah diserahkan ke kejaksaan Kabupaten Cirebon. Namun, pada 5 November 2024, pihak kejaksaan kabupaten Cirebon mengonfirmasi , melalui kasi intel Randi , bahwa mereka hanya menerima berkas acara, sedangkan barang bukti dan tersangka belum pernah diserahkan.
Menyadari adanya ketidakjelasan ini, wartawan kembali ke kantor Bea Cukai Cirebon pada 6 November 2024 untuk klarifikasi. Saat itu, Wawan mengoreksi keterangannya, menyebut bahwa barang bukti berupa truk beserta muatannya masih berada di area Bea Cukai, sedangkan AD telah dititipkan di Rutan kelas 1 Cirebon jalan Banteng kota Cirebon.
Simpang siur keterangan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi penanganan kasus. Di satu sisi, tindakan Bea Cukai dalam memberantas rokok ilegal yang merugikan negara ratusan juta rupiah patut diapresiasi. Namun, ketidakjelasan alur barang bukti dan pelaku seakan menimbulkan kesan bahwa ada pihak yang berpotensi memanfaatkan situasi ini demi keuntungan pribadi.
Sementara itu, keluarga AD telah mengajukan pendampingan hukum melalui POSBAKUM PWRI DPD Jawa Barat. Mereka menganggap AD hanyalah korban yang tidak menyadari skenario tersembunyi yang melibatkan aparat
Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dari aparatur negara, agar tidak ada kesan negatif bahwa peraturan hukum justru menjadi celah bagi oknum tertentu untuk meraih keuntungan di atas penderitaan orang lain.
[ Raden Prawira ]