Ketua Parlemen Lebanon terima proposal gencatan senjata dari AS


Beirut (ANTARA) – Ketua Parlemen Lebanon, Nabih Berri, pada Jumat (15/11) mengumumkan telah menerima proposal gencatan senjata dari Amerika Serikat (AS) di tengah serangan Israel yang terus berlangsung di Lebanon.

Dalam pernyataan yang dikutip oleh kantor berita Lebanon, Berri mengatakan bahwa pembahasan terkait rincian proposal tersebut masih berlangsung.

Ia membantah bahwa proposal itu mencakup “kebebasan bergerak bagi tentara Israel di Lebanon,” yang ia sebut sebagai “tidak dapat diterima” dan tidak dapat dinegosiasikan.

Berri menegaskan kembali sikap tegas Lebanon untuk tidak berkompromi atas kedaulatannya. Dia juga membantah bahwa rencana itu mencakup pengerahan pasukan NATO atau pasukan asing lainnya ke Lebanon.

Selain itu, ia menolak ketentuan dalam proposal tersebut yang mengusulkan pembentukan komite pengawasan Barat untuk mengimplementasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, yang dianggap Lebanon tidak dapat diterima.

“Kami sedang membahas mekanisme alternatif, tetapi Lebanon tidak akan melanjutkannya. Sudah ada mekanisme yang dapat diaktifkan,” ujar Berri, seraya menambahkan bahwa negosiasi yang berlangsung tetap menunjukkan perkembangan yang positif.

Ia juga mencatat bahwa kedatangan utusan AS, Amos Hochstein, ke Lebanon bergantung pada kemajuan pembicaraan ini.

Resolusi 1701, yang diadopsi pada 11 Agustus 2006, menyerukan penghentian penuh permusuhan antara Lebanon dan Israel serta pembentukan zona demiliterisasi antara Garis Biru (batas de facto antara Lebanon dan Israel) dan Sungai Litani.

Resolusi ini hanya mengizinkan angkatan bersenjata Lebanon dan Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) yang memiliki senjata dan peralatan militer di wilayah tersebut.

Berri menolak untuk mengungkapkan semua rincian proposal gencatan senjata AS yang dilaporkan disampaikan oleh Duta Besar AS untuk Lebanon, Lisa Johnson, pada Kamis (14/11).

Namun, media siaran Israel, Kan, mengeklaim bahwa proposal tersebut mencakup pengakuan oleh Israel dan Lebanon atas pentingnya Resolusi 1701 sambil mempertahankan hak masing-masing untuk membela diri jika diperlukan.

Proposal itu juga menetapkan bahwa, bersama dengan pasukan UNIFIL, Angkatan Bersenjata Lebanon akan menjadi satu-satunya kekuatan bersenjata di Lebanon Selatan hingga Garis Biru.

Selain itu, proposal tersebut menyerukan untuk mencegah persenjataan kembali kelompok-kelompok non-negara di Lebanon sesuai dengan Resolusi 1701.

Lebih lanjut, proposal itu menyatakan bahwa pemerintah Lebanon akan memberikan otoritas yang diperlukan kepada pasukan keamanannya untuk menegakkan resolusi tersebut, memantau impor senjata melalui perbatasan Lebanon, serta mengawasi dan membongkar fasilitas atau infrastruktur senjata yang tidak diakui dan melanggar kesepakatan.

Sebagai imbalannya, proposal AS meminta Israel untuk menarik pasukannya dari Lebanon Selatan dalam waktu tujuh hari, dengan Angkatan Bersenjata Lebanon menggantikannya. Penarikan tersebut akan diawasi oleh AS dan negara lain yang tidak disebutkan.

Kan juga melaporkan bahwa dalam waktu 60 hari setelah penandatanganan kesepakatan, Lebanon harus melucuti senjata kelompok-kelompok militer non-negara di Lebanon Selatan.

Hingga saat ini, Hizbullah belum memberikan komentar atas laporan media Israel itu, sementara Israel menunggu tanggapan resmi Lebanon terhadap proposal tersebut.

Media Israel juga melaporkan bahwa Washington baru-baru ini mengusulkan rencana yang meminta Hizbullah untuk mundur ke utara Sungai Litani, dengan pasukan militer Lebanon dikerahkan di selatan.

Proposal itu juga menyerukan pencegahan Hizbullah mendirikan kembali posisinya di wilayah tersebut serta menghentikan pengiriman senjata dari Suriah ke kelompok itu.

Namun, Israel bersikeras untuk tetap menargetkan Hizbullah di Lebanon meskipun ada kesepakatan apa pun, sebuah sikap yang ditolak keras oleh Lebanon.

Hizbullah menegaskan bahwa negosiasi tidak langsung dengan Israel harus didasarkan pada dua syarat: gencatan senjata dan perlindungan penuh atas kedaulatan Lebanon tanpa kompromi.

Israel meluncurkan serangan udara di Lebanon pada akhir September, dengan dalih menyerang target-target Hizbullah. Eskalasi ini berlangsung setelah setahun konflik lintas perbatasan.

Menurut otoritas kesehatan Lebanon, lebih dari 3.400 orang tewas, hampir 14.600 terluka, dan lebih dari 1 juta orang mengungsi akibat serangan Israel sejak Oktober tahun lalu.

Israel juga melancarkan invasi ke Lebanon Selatan pada 1 Oktober tahun ini.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Utusan AS untuk PBB serukan pemimpin Lebanon bentuk pemerintahan baru

Baca juga: AS tegaskan dukungan dalam operasi Israel di perbatasan Lebanon

Baca juga: AS tak akan biarkan Lebanon menjadi Gaza kedua

Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024

Source link