Pentas Kelompok Teater Musikal Tuna Rungu Pertama Indonesia

Di sebuah teater di Jakarta, musik mengalun dari pengeras suara saat sekelompok seniman muda menari dalam sebuah musikal, bermandikan cahaya panggung warna-warni. Namun, tidak ada yang bernyanyi di antara mereka.

Kelompok teater Fantasi Tuli mementaskan musikal pertama di Indonesia dengan sebagian besar seniman dan kru tuli pada Sabtu (26/10). Pementasan ini menggunakan layar di sisi panggung yang menampilkan dialog dan lirik lagu, saat para aktor tampil dengan ekspresi dan isyarat tangan mereka.

Berjudul “Senandung Senyap”, musikal ini menceritakan tentang penderitaan siswa di sekolah menengah bagi anak-anak penyandang disabilitas. Lakon ini karya sutradara Hasna Mufidah dan Helga Theresia, yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan menghilangkan stigma terhadap bahasa isyarat.

Untuk mempermudah memahami pementasan ini, ada juga aktor pendukung yang bukan berasal dari komunitas tuli, seperti Jati Andito. “Yang paling membuat hatiku trenyuh adalah saat kawan-kawan aktor tuli berproses untuk menampilkan tarian dan nyanyian musikalnya. Mereka bernyanyi dengan isyarat, beat yang mereka dapatkan itu dari subwoofer yang getarannya kita gedein. Jadi mereka mengikuti ketukan per menit dari getaran. Itu yang bikin aku merasa, kita bisa membuat banyak karya, tidak hanya ini saja, kita bisa melakukan banyak hal,” kata Andito.

Dia juga mengatakan, bahwa dirinya kini lebih memahami, bagaimana para aktor tuli ini bisa terinspirasi.

Melibatkan lebih dari 60 aktor dan kru tuli, musikal ini memakan waktu tiga bulan untuk dipersiapkan dan terinspirasi oleh Deaf West Theatre di Amerika Serikat, kata salah satu sutradaranya, Helga Theresia.

Pertunjukan ini mengkaji pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah Indonesia, di mana siswa tuli sering diajarkan dengan penekanan pada pelatihan bicara dan membaca bibir, dan bukannya bahasa isyarat, di tengah perdebatan yang lebih luas tentang metode pendidikan terbaik untuk anak-anak dengan disabilitas pendengaran.

Melalui penerjemah bahasa isyarat, Mufidah, seorang tuli yang terlibat dalam produksi ini mengungkapkan harapannya, agar ke depan inklusivitas dapat diperkuat. “Bahwa antara yang bisa mendengar dan orang tuli, mendengar bukanlah hal yang lebih unggul, kita setara,” kata Mufidah.

Hal ini juga berlaku bagi Hanna Aretha Oktavia, seorang aktor tuli dalam musikal tersebut yang mengatakan bahwa lakon ini juga merupakan perkenalan pertamanya dengan bahasa isyarat dan komunitas tuna rungu yang lebih luas.

“Selama latihan dialog, kami harus menggunakan ekspresi sebanyak mungkin dan mengikuti alur cerita,” kata Hanna, juga melalui penerjemah bahasa isyarat.
“Yang menarik adalah dalam latihan, kami harus merasakan tempo dan getaran dan mencocokkannya dengan koreografi. Saya pikir itu bagian yang paling menarik karena saya suka menari dan kami memperhatikan ketukan dengan saksama, dengan bantuan alat bantu dengar. Kami menggunakan pengeras suara besar untuk membantu memandu kami,” tambah dia.

Anggota rombongan teater Fantasi Tuli menampilkan pertunjukan bertajuk "Senandung Senyap" pada pertunjukan musikal pertama di Indonesia yang sebagian besar menampilkan seniman tuna rungu, di Jakarta, 26 Oktober 2024. (Heru Asprihanto/REUTERS)

Anggota rombongan teater Fantasi Tuli menampilkan pertunjukan bertajuk “Senandung Senyap” pada pertunjukan musikal pertama di Indonesia yang sebagian besar menampilkan seniman tuna rungu, di Jakarta, 26 Oktober 2024. (Heru Asprihanto/REUTERS)

Begitupun aktor tuli Muhammad Arsya Alamsyah, yang menegaskan bahwa inklusivitas adalah sesuatu yang penting. “Karena di masa lalu banyak film dan produksi teater tidak melibatkan orang tuli, misalnya dalam film romantis, Anda hampir tidak melihat satu pun. Di sini kita memiliki teater musikal tuli pertama yang dapat menunjukkan sekilas kondisi di Indonesia, dan bagaimana menjadi inklusif di Indonesia, seperti di dunia pendidikan yang memiliki banyak lapisan, dan dunia profesional dengan tantangannya sendiri,” ujarnya.

Bagi Alamsyah, yang berbicara melalui penerjemah bahasa isyarat, ini adalah kesempatan semua pihak untuk memberi kesadaran bagi orang yang mendengar, tentang mengapa mereka tidak boleh memberikan stigma bagi orang tuli. “Kami melakukan ini dengan mewakili komunitas tuli di sini,” ujarnya.

Salah satu penonton, Abdillah Nafan menyuarakan hal yang sama.
“Kalau yang aku lihat sendiri, sebenarnya masih banyak kekurangan, terutama di kalangan teman-teman yang bisa mendengar. Masih banyak yang tidak mengakomodasi kebutuhan mereka, teman-teman tuli untuk berkembang seperti kita semua,” kata dia.

Lebih 2 juta dari 280 juta penduduk Indonesia memiliki disabilitas pendengaran, termasuk 27.983 siswa di sekolah berkebutuhan khusus. [ns/lt]

Source link