Pameran seni rupa ‘Crisis’ di Jimbafest kritisi krisis multidimensi
Pameran seni rupa bertajuk ‘Crisis’ di Jimbafest 2024 mengkritisi krisis multidimensi mulai dari lingkungan hidup, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan yang terjadi di atas muka bumi.
Dr. Putu Agung Prianta selaku Founder Jimbafest dalam keterangannya di Denpasar, Selasa mengatakan pameran ini merupakan upaya untuk melihat dan mengamati kenyataan yang sebenarnya, menggali permasalahan, merespon apa yang terjadi, serta menghadirkan dan menyuguhkan ulasan akan posisi seniman sebagai studi kasus melihat berbagai penurunan kualitas yang menjadi “crisis” kehidupan di muka bumi ini.
Ketika dunia dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja, tentu itu berarti kita sedang
Ungkapan ini sebagaimana anggapan terhadap peran Jimbafest turut mengkritisi keadaan dunia yang semakin mengkhawatirkan.
Jimbafest 2024 di bagian program seni rupa memang sedang berfokus pada pemikiran bagaimana menghadirkan pemeran seni rupa yang berbeda dari biasanya.
Krisis lingkungan, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan hampir saling terhubung satu dengan yang lainnya.
Dia mengatakan persoalan perubahan iklim yang sangat ekstrim, kekeringan, banjir, longsor, mencairnya es di dua kutub, polusi yang semakin meningkat, perang, kemiskinan, kekerasan, serta muncul dan merebaknya penyakit yang tidak pernah terduga menjadi sorotan tajam betapa memang dunia semakin dalam keadaan tidak baik.
Untuk itu pameran seni rupa “Crisis” karya seni yang akan dipamerkan tidak terbatas pada keindahan karya yang memberi nilai kepuitikan semata, tapi menyikapi Crisis dengan menampilkan gagasan pemikiran pada “lebih bermakna sesuatu” dan memberikan penyadaran secara kritis.
Agung Prianta dengan sengaja menyiapkan tempat pameran baru, dikerjakan hampir sebulan penuh berupa hall yang ia namai Jimba Art Hall yang berlokasi di Jimbaran Hub.
Tempat pameran ini menurutnya terinspirasi dari gudang-gudang tua di beberapa tempat yang pernah ia kunjungi baik di eropa maupun kota-kota di Asia. Jimba Art Hall ada atau hadir sebagai ingatan baru untuk memulai dan menginisiasi seni bagi Jimbaran sebagai pusat seni baru di Pulau Bali.
Walaupun kental bernuansa provokasi sebagai sebuah praktek penyampaian, Agung Prianta seolah ingin memperkenalkan strategi baru sebagai bagian komunikasi penting yang hadir di tengah-tengah beragam konflik saat ini.
Untuk itu, ketika menerima sinyal dari gelagat Agung Prianta, Yudha Bantono dan Jean Couteau memilih dan mengundang karya dari 13 seniman baik dari Indonesia maupun mancanegara. Seniman-seniman itu diantaranya dari Indonesia Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana dan Arkiv Vilmansa.
Sedangkan seniman dari manca negara diantaranya Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, kesemuanya dari Australia, serta Stephan Spicher dari Switzerland.
Ke 13 seniman ini akan membawa gagasan sebagai bagian dari kekuatan karyanya, nantinya karya-karya itu akan menjadi pembicaraan yang lebih luas, bahkan menjadi bagian yang dapat membangun ruang kesadaran pemirsa atau pengunjung Jimbafest, bahkan akan menjadi aksi konkret.
Karya-karya ketiga belas seniman yang terlibat dalam pameran diharapkan dapat menjadi penafsiran menarik, bukan hanya menunjukkan hasrat turut serta berselebrasi bersama dalam sebuah pameran semata, melainkan menjadi gambaran permasalahan besar “Crisis” yang memang sedang berkecamuk di dunia saat ini, yang secara ironis kadang tidak nampak bahkan bisa berubah-ubah wujud.
Pameran seni rupa Crisis sendiri akan berlangsung pada 26 Oktober sampai 26 November 2024.
Pameran seni rupa Crisis adalah upaya membangun ruang komunikasi yang nantinya akan menjadi pengingat untuk bangkit melalui tanda-tanda, dan aksi artistik yang kritis, baik menghadirkan maupun membaurkan peristiwa sebagai sebuah pesan yang memiliki nilai atau gerakan moril.
Sehingga, khalayak luas bisa memahami, apa yang dilakukan seniman dalam pameran seni rupa Crisis berarti apa yang terjadi dan tengah berubah dalam kehidupan yang serba was-was ini.
Agung Prianta, yang banyak berkutat pada penelitian pariwisata dan budaya, menyatakan infrastruktur seni rupa di Bali harus jeli melihat berbagai ketimpangan yang menjadikan Bali hanya sebagai tempat dari peristiwa seni, dan kebanyakan tidak berkelanjutan.
“Bali telah membuktikan banyak melahirkan seniman-seniman hebat. Jimba Art Hall setidaknya adalah langkah inisiasi yang telah lama ia pikirkan, terlebih dahulu membuka JHub Art Space serta aneka kegiatan seni lainnya,” katanya.
Untuk itu, ia mengatakan ini baru permulaan atau awal, sedangkan selebihnya pergeseran estetika seni yang melibatkan banyak kemajuan teknologi saat ini memerlukan ruang, dan Jimba Art Hall akan hadir bersama para seniman melalui program-program yang akan dirancang bersama board curator.
“Saya yakin Jimba Art Hall akan membuka berbagai kemungkinan, menciptakan landasan kajian baru bagi wacana dan praktek berkesenian, menawarkan gagasan, dialog dan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lintas disipliner baik nasional maupun internasional,” katanya.
Pameran Seni Rupa Crisis adalah sebuah cara untuk membuka mata dan hati kita semua, bahwa sekali lagi dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Dan dari Bali kita tidak diam, tapi sedang bersuara bagi kebaikan dunia, kata Agung.