Pakar Pertanyakan Revisi UU Pilkada yang Abaikan Putusan MK

Hanya dalam hitungan jam, delapan fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui isi revisi Undang-Undang Pilkada yang dibahas bersama pemerintah. DPR bahkan akan mengesahkan revisi UU tersebut melalui rapat paripurna yang akan digelar Kamis (22/8).

Hanya PDI Perjuangan yang menentang hasil pembahasan revisi UU Pilkada itu. Revisi tersebut, menurut partai tersebut, tidak mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan keputusan final dan mengikat.

Pembahasan perubahan keempat UU ini sebetulnya sudah dimulai sejak tahun lalu, tapi beberapa kali mengalami kemandekan. Namun, secara tiba-tiba, Baleg mempercepat pembahasannya setelah terbit putusan MK mengenai uji materi pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada mengenai batas usia calon gubernur dan wakil gubernur.

Hasil rapat Baleg memutuskan untuk menganulir semua putusan penting MK tersebut. Baleg menolak menjalankan putusan MK terkait syarat usia minimal calon kepala daerah. Dalam putusan itu, MK memutuskan syarat calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran pasangan calon. Namun Baleg DPR memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yakni titik hitung usia minimal calon kepala daerah adalah sejak tanggal pelantikan.

Mayoritas fraksi menganggap putusan MA dan MK sebagai dua opsi yang sama-sama bisa salah satunya. DPR menurut Baleg bebas memilih putusan mana yang akan diadopsi dalam revisi UU Pilkada.

Terkait soal ambang batas pencalonan, Baleg menyatakan perolehan partai atau koalisi partai sebesar 6,5 sampai 10 persen suara hanya berlaku bagi partai politik tanpa kursi di DPRD. Ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD, tegasnya, adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan “kegilaan” dalam demokrasi di Indonesia dan sekaligus sebagai bentuk pembangkangan atas konstitusi.

Herdiansyah Hamzah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kaltim. (Foto dok pribadi)

Herdiansyah Hamzah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kaltim. (Foto dok pribadi)

“Jadi parah banget. Ini sekaligus juga penghinaan terhadap peradilan. Tidak hanya menghina peradilan, menghina konstitusi, menghina pembuat konstitusi, menghina bangsa ini, menghina negara ini,” katanya.

Herdiansyah mengaku tidak habis pikir mengapa DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU lebih memilih putusan Mahkamah Agung ketimbang putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, menurutnya, lembaga yang memiliki otoritas menafsirkan undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, lanjutnya, derajat putusan Mahkamah Konstitusi jauh lebih tinggi dibandingkan putusan Mahkamah Agung.

Herdiansyah menegaskan jika revisi UU Pilkada disyahkan maka revisi itu tidak akan mendapatkan legitimasi di masyarakat. Dia menilai pernyataan pihak Istana yang meminta menggugat kembali ke MK jika tidai setuju dengan hasil revisi UU Pilkada sebagai cara berpikir yang rusak dan kotor.

“Nggak ada pilihan lain, sipil harus membangkang. Kalau DPR dan pemerintah bisa membangkang, masyarakat sipil juga bisa membangkang. Kalau pilkada (pemilihan kepala daerah) dijalankan dengan cara-cara seperti ini, berdasarkan syahwat para kartel politik, nggak ada gunanya pilkada itu, karena dibangun dengan cara-cara kotor,” ujarnya.

Menurut Herdiansyah, pemboikotan terhadap pemilihan kepala daerah memang harus dilakukan sebagai upaya melawan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dia menekankan para akademisi akan melawan dengan cara papaun yang bisa dilakukan, seperti lewat siaran pers, pernyataan sikap dan aksi-aksi.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti. (VOA/Fathiyah)

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti. (VOA/Fathiyah)

Ray Rangkuti, pengamat politik dari Lingkar Madani menilai revisi UU Pilkada itu bisa disebut sebagai ilegal karena tidak memenuhi sejumlah aspek. Dia menyebutkan salah satunya aspek prosedural yakni tidak diketahui kapan agenda untuk merevisi UU Pilkada disampaikan. Dia menambahkan pembuatan atau revisi UU Pemilihan kepala Daerah mestinya mengikuti mekanisme yang ada, yakni dimulai dengan pembuatan naskah akademik, penyerapan aspirasi masyarakat dan seterusnya.

Ray menyebutkan jika revisinya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, berarti tinggal menyalin saja putusan tersebut dalam revisi. Tapi kenyataannya, revisi UU Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

“Kalau berbeda, mestinya mereka harus melakukan penyerapan aspirasi masyarakat dulu dan itu pun tidak dilakukan. Ternyata hanya hitungan hari, revisinya udah dilakukan. Ketiga, sangat tidak lazim juga pembuatan UU dikebut dalam satu hari, padahal tidak ada yang sangat darurat,” tuturnya.

Dari segi substansi, menurut Ray, revisi UU Pemilihan Kepala Daerah tersebut jelas mengakali putusan Mahkamah Konstitusi. Parahnya lagi, DPR bersama pemerintah membandingkan putusan Mahkamah Agung dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Dalam siaran persnya, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang beranggotakan 27 pakar hukum tata negara dan pemilu menyebutkan Presiden Joko Widdo dan Koalisi Indonesia Maju Plus ditengarai hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

CALS menegaskan Presiden Joko Widodo bersama partai-partai politik pendukungnya tengah mepertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang berlebihan tanpa kontrol.

Karena itu, CALS menyerukan presiden dan DPR menghentikan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah, KPU menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi kemarin. Jika revisi UU Pemilihan Kepala Daerah tetap dilanjutkan dan disahkan, menurut CALS, masyarakat sipil akan melakukan pembangkangan untuk melawan tirani dan otokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai pendukungnya dengan memboikot Pemilihan Kepala Daerah 2024.

Sementara itu di media sosial, gambar peringatan darurat bermunculan setelah DPR dan pemerintah menolak mematuhi putusan MK. Lambang Burung Garuda berlatar biru dongker memenuhi media sosial. Warganet ramai mengunggah status dengan lambang Garuda tersebut. [fw/ab]

Source link