Dinamika Pencalonan Airin di Banten, Perspektif GRC
Geliat penentuan calon Gubernur Provinsi Banten sejak beberapa hari terakhir berlangsung dinamis dan banyak mengundang tanya. Airin Rachmi Diany (Airin), tokoh Partai Golkar Banten, yang semula diprediksi sebagai kandidat kuat, sempat hilang dan kemudian muncul lagi.
Sementara, Andra Soni yang masih muda, relatif kurang dikenal, tiba-tiba muncul sebagai calon kuat. Seluruh partai anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, kecuali Partai Golkar yang kemudian mengalihkan dukungannya, merapat dan ‘sepakat’ mengusung tokoh ini. Dinamika pencalonan Airin menarik dicermati dari persfektif GRC, sebuah metode pendekatan terpadu tentang (G) tata kelola, (R) manejemen krisis, dan (C) Compliance.
Banten sejak lama dikenal sebagai salah satu provinsi basis kuning (Partai Golkar). Tokoh masyarakat Banten, Ratu Atut beserta keluarga besarnya – dikenal sebagai keluarga jawara – yang dicintai dan disegani, senantiasa membangun jaringan politik dan kemasyarakatan mereka melalui Partai Golkar. Salah satu anggota keluarga ini, Airin telah dipersiapkan untuk maju pada Pilgub Banten 2024.
Sesungguhnya Partai Golkar secara internal juga telah mempersiapkan kader andalannya untuk maju pada Pilgub Banten. Airin salah satunya yang terdepan. Airin memang telah menunjukkan kerja dan kinerjanya sebagai Walikota Tangsel. Selama dua periode memimpin daerah ini, Airin telah menjadi tokoh yang tidak saja dikenal tetapi juga memiliki pengikut yang luas melewati batas wilayah Tangsel.
Ketokohan Airin di partai juga terlihat dari kepercayaan yang diberikan padanya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Kesatuan Perempuan Partai Golkar (PP KPPG).
Popularitas dan ketokohan Airin mendasari Koalisi Indonesia Maju menugaskannya untuk memenangkan Prabowo-Gibran di wilayah Banten pada Pilpres 2024.
Meski pada saat yang sama harus bertarung merebut kursi ke DPR RI, Airin berhasil menyelesaikan dua tugas itu dengan gemilang. Di pertarungan legislatif Airin memperoleh 302.878 suara, terbesar di dapilnya, mengalahkan perolehan incumben. Sementara pada Pilpres, pasangan Prabowo-Gibran unggul mutlak di Banten dengan total perolehan sebanyak 4.035.052 suara.
Kalau memang demikian kondisinya, lalu kenapa Airin yang sudah dipersiapkan sejak lama dan juga berhasil menjalankan berbagai tugas yang diembannya harus disisihkah dari kontestasi Pilgub di Banten?
Perubahan sikap Partai Golkar, Perspektif GRC
Dalam politik dikenal istilah ‘Politics is the art of the possible’. Politik adalah seni tentang segala kemungkinan. Suatu hal yang telah dirancang lama, disusun rapi, dikerjakan secara serius dengan mengorbankan tenaga pikiran dan dana, bisa saja berubah dalam waktu sekejap.
Airin yang telah mempersiapkan diri sejak lama harus menerima kenyataan ketika partainya, Partai Golkar – dengan pertimbangan dan lobby tertentu – menjatuhkan pilihannya kepada Andra Soni.
Ketokohan dan ‘magnit’ Airin serta daya dukung keluarga besarnya ternyata sulit diabaikan oleh partai-partai politik. Hal itu kelihatannya menjadi pertimbangan kuat PDI-P untuk mengusung Airin sebagai calon gubernur, meski harus menempatkan kadernya sebagai calon wakil gubernur.
Keputusan MK no.60/PUU-XXII/2024 memang telah membuyarkan skenario yang telah disusun matang oleh beberapa partai dan koalisi partai. Keputusan MK yang menurunkan treshold pencalonan di pilkada – cukup sebesar syarat untuk calon independen – telah memungkinkan PDI-P untuk mengusung sendiri, tanpa berkoalisi, calonnya di Provinsi Banten.
Politik erat dan lekat dengan pertimbangan kepentingan. Kesediaan PDI-P untuk mengusung Airin, tokoh yang sejak lama kental lekat sebagai kader Golkar tentu bukanlah bersifat emosional. PDI-P tentu sudah mempertimbangkan matang ‘risk and return’ dari pilihan sikapnya.
Hanya berselang sehari setelah dukungan PDI-P, Partai Golkar mengalihkan dukungannya dari Andra Soni dan menyerahkan formulir B1-KWK kepada Airin – Ade.
Perubahan sikap Partai Golkar di momen injuri time bisa dilihat dari beberapa faktor. Keputusan MK tentu menjadi faktor penentu utama. Selanjutnya sikap PDI-P juga menjadi faktor yang lain. Bagi Partai Golkar mengusung tokoh lain selain Airin – apalagi bukan kader partai – berpotensi menangguk kepahitan berganda. Diantaranya; kehilangan kader andal yang pdlt-nya telah teruji, kehilangan kader-kader loyalis Airin dan keluarga besarnya, menumbuhkan keraguan besar di internal partai betapa perjuangan dan prestasi bisa berbanding terbalik dalam sekejap, menurunkan moral kejuangan kader, dan merosotnya performance dan aproval rating partai, dan minim pemilih pada Pemilu berikut.
Hal-hal inilah antara lain yang menjadi kalkulasi politik mendalam DPP Partai Golkar sehingga akhirnya ‘balik badan’ kembali memberikan dukungan penuh pada pencalonan Airin.
No Easy Choice
Tidak ada pilihan yang mudah. Pakar manejemen tata kelola dan pemerhati masalah sosial politik, Jerry Marmen mengatakan; pemimpin organisasi perusahaan senantiasa akan dihadapkan pada pilihan kebijakan yang kerap tidak mudah. Pemimpin harus cermat membuat prediksi dan kalkulasi potensi ‘risk dan return’ dari setiap keputusannya.
Setiap pilihan putusan memang senantiasa membawa juga sisi resiko, membawa konsekuensi. Apalagi keputusan itu diambil pada waktu yang sangat terbatas, sehingga memaksa pemimpin harus mampu menerapkan prinsip ‘quick to see, quick to decide, and quick to act’.
Disinilah dituntut kecermatan para pemimpin, sembari terus menunjukkan bagaimana membangun tata kelola organisasi/partai dengan menerapkan prinsip-prinsip terbuka, akuntabel, responsibel, independen dan fairness (TARIF). Di tengah situasi dan kondisi “no easy choice”, decision maker partai dituntut untuk senantiasa jeli, teguh disiplin menerapkan kaidah-kaidah GRC – Governance, Risk Management, dan Compliance.
(Valentino Barus)